Ambararajanews.com_Banyak hal yang harus aku pertimbangkan sebelum mempublikasikan tulisan ini. Perasaan yang berkecamuk dalam dada tak lagi bisa kutahan setelah kejadian itu. Ya, kejadian yang bagi banyak orang dianggap aib, cukup dipendam sendiri karena takut dikucilkan atau dijadikan bahan olok-olokan.
Tepatnya hari Kamis, 12 September 2024, aku mengikuti survei salah satu lembaga dan mendapatkan tugas di dua kelurahan yang ada di Buleleng. Ini bukan pertama kalinya aku ikut survei, tetapi baru kali ini aku mendapatkan perlakuan yang mengkonotasikan perempuan sebagai objek untuk memuaskan nafsu binalnya oknum-oknum yang memiliki mulut sampah.
Survei kali itu berada di Kelurahan KK dan Kelurahan KB. Alhamdulillah, di Kelurahan KK, semuanya berjalan baik dan aku disambut hangat oleh perangkat desa. Namun lain halnya di Kelurahan KB, meski awalnya disambut dengan canda-canda ringan, seperti "sudah menikah belum?" atau "sudah punya pacar?"—yang kupikir masih dalam batas wajar—semakin lama bercandaan mereka semakin melampaui batas. Hingga pada saat aku meminta cap untuk beberapa berkas sebagai bukti persetujuan survei, salah satu dari mereka berujar, "Ada lagi yang mau dicap, Mbak? Atau mau dicap di dadanya?"
Saat itu aku langsung freezed, tidak bisa berkata-kata. Tanganku gemetar. Dalam hati sudah penuh umpatan, tapi tak satu pun kata keluar dari mulutku. Rasanya ingin aku menjambak mulutnya saat itu juga. Namun, ruangan itu dipenuhi laki-laki yang semua tertawa terbahak-bahak. Aku merasa sendirian, benar-benar terpaku. Lalu, salah satu warga yang berada di ruangan itu turut menambahkan, "Gak apa-apa ya, dicandain begitu, yang penting dapat cap"
An*ng, ba**sat, baj***an, itu kata-kata yang ingin aku lontarkan ketika itu. Emosi sudah di ubun-ubun, aku kemudian bergegas membereskan berkas kemudian kumasukkan ke dalam tas, dan yang terakhir, untuk foto bersama lurahnya sebagai pelengkap berkas survei, tetapi semua meminta untuk foto bersama, dengan senyum getir, aku foto bersama dengan mereka, salah satu oknum ini tiba-tiba nyeletuk "Sini Dek, saya pangku", sambil nunjuk pahanya. Kurang ajar! semuanya terbahak-bahak tanpa ada dosa sedikit pun, setelah foto bersama, aku langsung pamit pulang.
Di sepanjang jalan, aku merasa bersalah atas sikapku yang hanya diam. Rasa marah dan kecewa karena perangkat desa yang harusnya mengayomi dan melayani masyarakat dengan baik dengan penuh rasa aman dan nyaman justru menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menginjak-injak harkat dan martabat perempuan.
Kasus semacam ini cukup membuatku tercengang, pasalnya aku sudah cukup lama di Bali, kurang lebih mau 5 tahun, dan sudah sering ikut survei, bolak balik dari Lombok ke Bali menggunakan sepeda motor, pagi, siang maupun malam. Alhamdulillah tidak pernah mendapatkan kejadian yang sampai pada pelecehan semacam ini. Awalnya, aku percaya bahwa Bali, khususnya Kota Singaraja yang dilabeli Kota Pendidikan dipenuhi oleh orang-orang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan toleransi.
Namun, dengan adanya oknum-oknum yang melecehkan perempuan atas nama "bercanda," jika dibiarkan terus seperti itu bisa menjadi hal yang lumrah dan mengubah citra Singaraja. Kota Pendidikan bisa menjadi Kota Pelecehan. Dengan tagline Buleleng Berbangga, apakah ini yang dibanggakan? berbangga dengan otak-otak mesum yang melecehkan perempuan? Ini jelas pelecehan seksual verbal. Jika dibiarkan, bisa naik pada level yang lebih parah: pelecehan fisik.
Dengan kejadian ini, aku tidak ingin ada perempuan lain, termasuk rekan-rekanku, mengalami hal yang sama. Aku salah satu dari jutaan perempuan yang meyuarakan bahwa perempuan harus melawan, jangan mau dibungkam, harus berani menyuarakan ketidakadilan! Jika aku memilih diam, maka aku akan menjadi munafik, tidak sesuai dengan tindakan yang selalu kuperjuangkan. Maka kasus ini harus disuarakan dan mendapatkan keadilan.
Sejak 2022, saya membaca banyak berita tentang kasus-kasus pelecehan seksual di Buleleng dengan statistik yang sudah tidak bisa dianggap kecil. Fakta ini menjadi bukti bahwa Buleleng tidak ramah perempuan dan anak. Ruang aman bagi perempuan dan anak semakin sempit. Tercatat sebanyak 15 kasus pelecehan terjadi pada tahun 2022. DP2KBP3A dari Januari hingga Juni 2024 telah terjadi 20 kasus serupa. Ini mengindikasikan bahwa kasus semacam ini bertambah setiap tahunnya. Data tersebut hanya menunjukkan banyaknya korban yang berani melapor, sedangkan jumlah korban yang memilih untuk tidak bersuara masih belum diketahui jumlahnya.
Rasanya sangat tidak adil jika oknum-oknum yang sudah melakukan tindakan tercela ini bisa melanjutkan hidup mereka seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Tidak menutup kemungkinan hal seperti ini terjadi lagi di tempat yang sama atau tempat yang berbeda, dan banyak korban yang memilih diam karena tidak paham apa yang harus diperbuat, mengadu ke siapa dan malas untuk memperpanjang masalah karena khawatir kasus ditutup dengan cuan dan hasil akhir diselesaikan secara kekeluargaan. Sedangkan korban mendapatkan cemoohan karena dianggap berlebihan menanggapi pelecehan yang bersembunyi di balik kata candaan. Apakah pemerintah Buleleng akan menindak tegas? Atau hanya duduk santai sambil tertawa melihat kasus seperti ini dan dijadikan bahan lelucon?
Harapanku pemerintah Buleleng bisa mengambil sikap atas kasus-kasus seperti ini, agar para pelaku jera dan mengembalikan rasa aman kepada para perempuan dalam menjalankan pekerjaan atau aktifitas sehari-hari. Pesanku kepada seluruh perempuan, jangan mau diam, jangan mau dibungkam, jika bukan kita yang menyuarakan aspirasi perempuan, maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mari lebih berempati kepada sesama perempuan, dengan tidak menormalisasi segala bentuk pelecehan dan subjektifikasi fisik perempuan.
Jangan mau kutang wanita yang digunakan sebagai penopang payudaranya dijadikan penopang birahinya laki-laki berotak mesum.
#Hidup perempuan yang melawan
#Perempuan tangguh bersama untuk tumbuh
#Woman support women