Sumber Gambar : LAPMI HMI Cabang Singaraja
AMBARARAJANEWS.COM_Telah diadakan acara diskusi umum kepemudaan dengan tema “Menghadapi Krisis Iklim. Mahasiswa Bisa Apa?” yang dilaksanakan oleh Climaterangers Bali Bersama dengan HMI Komisariat FOK. Kegiatan ini berlangsung di Coffe Shop Dekakiang pada Selasa lalu (31/10/2023). Diskusi ini mengupas terkait wacana bumi menuju pada posisi di mana sudah tidak layak huni, hal ini dikarenakan semakin banyaknya manusia yang menggunakan sumber energi tidak ramah lingkungan salah satu caranya adalah batu bara.
Mengapa harus batu bara? Hal tersebut menimbulkan pertanyaan dari salah satu audiens dalam diskusi tersebut. Pertanyaan itu kemudian ditanggapi langsung oleh pemateri yaitu Suriadi Darmoko selaku Pengkampanye 350 Indonesia. Menurutnya pembakaran batu bara dari PLTU salah satunya menyumbang emisi tertinggi dalam tumpukan karbon di atmosfer. "Apabila hal hal ini terjadi secara terus menerus, maka akan berakibat bumi semakin lama semakin panas dan tidak layak huni,” ungkapnya Darmoko.
Lebih lanjut, Suriadi Darmoko menjelaskan bahwa Indonesia mengalami peningkatan konsentrasi karbon. “Normalnya tingkat karbon yang kondusif untuk adanya kehidupan di bumi adalah 350 partikel per meter persegi, tetapi sayangnya tingkat karbon rata-rata di Indonesia adalah 411 dan menurut saya ini sudah sanggat tercemar jika ini tetap berlanjut maka ini akan menyebabkan efek rumah kaca semakin parah dan menjadi bencana iklim sekala global,” Tambah Darmoko.
Harbin yang merupakan seorang mahasiswa Undiksha yang sebelumnya pernah mengenyam pendidikan di salah satu universitas di Sumatra Selatan dan sekaligus pemantik diskusi menyampaikan argumentasinya terkait dampak lingkungan akibat penambangan batu bara "Saya merasakan berbagai efek yang timbul dari penambangan batu bara, nikel, PLTU dan lain-lain yang terjadi. Pemerintah memberikan solusi yang katanya merupakan energi dari pemerintah untuk masyarakat. Solusi yang ditawarkan tersebut adalah solusi palsu yang menjadi akar masalah lingkungan di wilayah sekitar pertambangan dan PLTU sehingga lagi-lagi masyarakat sekitarlah yang dikorbankan," Jelasnya.
Ket. Gambar : Foto bersama pemateri dengan audiens kegiatan diskusi
Forum diskusi sempat memanas dikarenakan statement dari pemantik sedikit menyentil mahasiswa dari Buleleng yang nampaknya agak lamban masalah pergerakan mengenai isu lingkungan terutama permasalahan di PLTU Celukan Bawang. Hal tersebut langsung diluruskan oleh Dyka Royyan selaku ketua Panitia diskusi tersebut. "Bukannya mahasiswa di Buleleng tidak mau bergerak, tetapi dari 13000 total mahasiswa yang ada di Buleleng hanya sedikit yang terpangil untuk menanggapi isu sosial, dari yang terpanggil sedikit pula yang mau bergerak guna membuat perubagan," Tutur Dyka.
Menanggapi hal tersebut, pemateri memaparkan teori perubahan sosial “Bahwa jika 10% orang di Indonesia mau bergerak dan berubah kemudian menyuarakan adanya perubahan maka perubahan system secara besar-besaran akan terjadi, maka harapan saya dengan adanya momen ini bisa menjadi momen awal bagi pemuda untuk segera melakukan dan menyuarakan perubahan system transisi energi yang membuat pencemaran lingkungan tidak semakin parah. besar harapan kami dengan adanya diskusi yang sudah kami lakukan akan menjadi taunting point kesadaran bagi kita semua sebagai awal pergerakan kesadaran mahasiswa atas iklim dan lingkungan,” Papar Darmoko.
Penulis : Dyka Royyan