Ket. Gambar: Penulis
Sumber Gambar: Facebook Jaswanto
Penulis: Jaswanto, Kader Kultural
AMBARARAJANEWS.COM_Pertengahan tahun 2016, sebuah nasib (atau takdir?) membawa saya masuk dalam sebuah organisasi mahasiswa yang sama sekali tidak saya ketahui sebelumnya. Saya sedari awal tidak pernah berpikir, ketika sudah menjadi mahasiswa, untuk ikut berkecimpung di dalam organisasi mahasiswa apapun—internal maupun eksternal. Pikiran saya hanya cepat lulus kuliah, kemudian bekerja dan berharap bisa membahagiakan kedua orang tua. Itu saja. Tidak ingin ikut organisasi ini dan itu.
Tapi lain yang terjadi, sejak seorang kawan mahasiswa—kawan yang sama-sama kelahiran dari Tuban, Jawa Timur—mengajak saya untuk mengikuti organisasi mahasiswa eksternal kampus yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam atau yang lebih dikenal dengan nama HMI. Lain dulu lain sekarang. Semenjak ikut Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Singaraja, orientasi saya mulai berubah. Dulu, saat kali pertama menjadi mahasiswa, pikiran saya hanya bagaimana caranya agar kuliah saya cepat lulus kemudian bekerja dan pulang dengan harapan bisa membahagiakan orang tua. Tuhan punya kehendak lain. Skenario yang saya buat, dipatahkan oleh “takdir”.
Saya mulai mencintai organisasi, HMI sudah menjadi diri saya sendiri. Walaupun HMI tiada dari negara ini, umpamanya, ia akan tetap tinggal, akan tetap lekat, akan tetap dekat dengan saya. Sebab bagi saya, HMI bukan hanya sekadar organisasi mahasiswa eksternal kampus. HMI lebih dari itu. Ia adalah rumah kedua bagi saya setelah ibu dan keluarga tentu saja. Ia adalah kampus setelah kampus formal. Ia adalah ruang kelas dengan layar-layar LCD lengkap dengan proyektor-proyektor yang menampilkan film-film tentang segalanya yang berkaitan dengan pengembangan diri, ilmu pengetahuan, dan agama tentu saja. Sedangkan orang-orang di dalamnya, adalah teman yang lebih daripada saudara itu sendiri.
***
Katakanlah pertemuan saya dengan HMI adalah sebuah kecelakaan. Dimulai dan berawal dari kontrakan Sahadewa No.6 B. Seorang kawan mengajak saya ke sebuah tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Tempat LK I diselenggarakan. Di sana, di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Buleleng. Di KUA, dengan menggunakan celana jeans lusuh dan baju koko berwarna putih bersama peci hitam, saya melihat banyak orang-orang baru—orang-orang aneh yang belum pernah saya jumpai. Yang laki-laki memakai peci bercorak warna perpaduan hijau hitam dan berkalung semacam mendali, sedangkan yang perempuan hanya berkalung saja. Beberapa orang mondar-mandir keluar masuk KUA, sedangkan yang lain mengurus administrasi di sebuah meja. Dan laki-laki yang memakai peci aneh tadi dikelilingi oleh banyak sekali orang. Mereka duduk melingkar, kadang tertawa, kadang juga serius.
Kebingungan saya terjawab, oleh sebuah banner yang tertempel di tembok sebelah barat mushola KUA. Banner itu bertuliskan: Latihan Kader I (LK I) Komisariat FIS Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Singaraja 2016. Satu pertanyaan terjawab, timbul pertanyaan lain: Apa itu HMI?
Singkat cerita, saya mulai aktif berhimpun untuk mengetahui lebih dalam apa itu HMI. Saya mulai menghadiri forum-forum diskusi, rapat-rapat, dan mencoba untuk menggali potensi diri serta mengembangkan diri di Himpunan Mahasiswa Islam. Dalam himpunan inilah, saya menemukan sebuah “potensi” diri, yang kemudian saya geluti sampai saat ini. Potensi diri itu bernama: Literasi.
Sudah menjadi rahasisa umum, bahwa HMI di manapun, selalu memiliki tradisi berliterasi: membaca, berdiskusi, dan menulis. Tradisi itu diwariskan secara turun-temurun oleh senior-senior dulu. Dalam pengembangan diri, di samping pengaruh dari internal, diri juga membutuhkan faktor eksternal untuk itu. Membaca dan berdiskusi menjadi salah dua alat untuk pengembangan diri, dan menulis menjadi salah satu alat untuk mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang didapat dari proses membaca dan berdiskusi tadi. Saya menikmati dalam proses-proses itu. Kemudian buku menjadi candu. Diri semakin haus akan ilmu pengetahuan, semacam gelas yang bawahnya tiada tertutup, diisi air berapa liter pun, ia tidak akan penuh. Dan karena sebab itulah, kehidupan akan terus mengalir.
***
Januari 2017, Tuhan kembali menggerakkan saya untuk berproses lebih lanjut di HMI. Pada awal tahun itu, dengan bekal yakin usaha sampai, saya beranikan diri untuk berangkat ke Ciamis, Jawa Barat, seorang diri. Ya, berangkat ke Ciamis tak lain untuk mengikuti Latihan Kader II HMI Cabang Ciamis. Tentu saja saya berangkat belum tahu apa-apa—walaupun sampai saat ini juga tetap belum tahu apa-apa. Selama berproses di LK II Ciamis, pikiran saya perlahan-lahan mulai terbuka. Ketika itu saya masih semester 3 kalau tidak salah. Saya mendapatkan banyak hal. Segalanya, ilmu pengetahuan, persahabatan, persaudaraan, relasi, arti pertemuan dan perpisahan dan juga perjuangan.
Perjalanan ke Ciamis, benar-benar mempengaruhi saya. Perjalanan yang ditemani oleh lagu Ebiet G. Ade, Berita Seorang Kawan, menjadi awal perjuangan saya di HMI. Saya katakan awal, sebab sejak pertama memilih HMI sebagai tempat berproses, saya baru menemukan kenikmatan ber-HMI ketika melakukan perjalanan dari Singaraja ke Ciamis.
Di Ciamis saya belajar banyak hal. Susah senang saya lewati. Proses administrasi, screnning, dan forum. Suka duka LK II terlewati. Masalah baru datang. Saya tidak punya ongkos untuk kembali ke Tuban setelah LK II selesai. Akan tetapi, saya tidak khawatir. Sebab, di HMI, kita berteman lebih dari saudara. Saya menumpang di salah satu sekretariat komisariat HMI Cabang Ciamis. Adalah Bang Adi Rifki, Bang Asep, Bang Arif, dkk, bersedia menampung saya sembari menunggu uang kiriman untuk kembali ke Tuban. Di sana, kembali saya menemukan kebersamaan yang luar biasa. Berbagi makanan, berbagi tempat tidur, diajaknya saya keliling Kota Ciamis, dan khusus Bang Adi (sapaan akrab Bang Muhammad Adi Rifki, yang sekarang menjabat Direktur Utama LAPMI HMI Cabang Ciamis), seorang kader HMI yang luar biasa itu, memberikan kesan manis saya di Ciamis.
Singkat cerita, setelah saya mendapat kiriman uang untuk kembali ke Tuban, saya diantarkan Bang Adi sampai ke Terminal Ciamis. Sambil menunggu bus Ciamis-Semarang datang, Bang Adi banyak bercerita, sekadar menyampaikan kesan selama LK II. Mengenang waktu forum; mengenang makan bersama; mengenang diskusi dan tidur bersama. Ya, sambil makan kacang Dua Kelinci yang saya beli di sebuah warung dekat loket tiket itu, ia semangat mengenang. Bagian ini yang selalu saya kenang, pada saat sebelum saya masuk ke bus, Bang Adi memberikan saya sebuah barang yang paling berharga—barang yang membuka cakrawala pemikiran saya. Sebuah buku berjudul Berhala-Berhala Wacana karya Edi Ah Iyubenu—nama pena Dr. Edi Mulyono. Terima kasih, Bang Adi. Bukunya sangat bermanfaat.
Saya berterima kasih kepada HMI dan orang-orang di dalamnya. Berkat HMI, saya bisa menelurkan dua novel yang berjudul Munajat Hati yang terbit pada akhir tahun 2017 dan Cangkruk Dusun Karangbinangun yang terbit pada awal tahun 2018. Dan untuk saat ini, ada beberapa naskah buku yang sedang saya garap, semoga dilancarkan.
Akhirnya, sekali lagi saya sangat berterima kasih kepada HMI dan orang-orang yang ada di dalamnya. Sebab bagi saya, HMI bukan hanya sekadar organisasi eksternal kampus belaka.
Singaraja, 2018