Manusia Pelaut di Ujung Timur Pulau Jawa.

Ilustrasi Nelayan. Sumber Gambar: Dok. andhimarshalblog.spot.
Penulis : Galang Mahendra Ardiansya. Editor: Nur Alfillail


Di tempat ini saya dilahirkan dan dibesarkan, ditempat ini juga saya berkecimbung sejak kecil sampai sekarang. Bisa dikatakan hingga dewasa, saya merasakan susah payah dan bertaruh nyawa, yaitu menjadi seorang nelayan. Ya, saya seorang anak nelayan dari ayah dan ibu saya. Laut adalah kehidupan bagi keluarga kecil kami, karena laut yang memberi semua yang kami butuhkan terutama urusan perut. Sisi lain dari tempat kecil di pesisir yang bernama Kota Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur mempunyai sejarah yang panjang. Dari menangkap ikan dengan Jala dan sekarang menggunakan perahu mesin besar lalu jaring-jaring yang panjang dan luas. Bahkan sampai-sampai satu kali tangkapan bisa mendapat berpuluh-puluh ton ikan. 

Nah, sekarang kita flashback pada masa lampau, ada yang unik dari tempat kecil ini. Pada zaman dahulu, sebelum ayah dan ibu saya dilahirkan bahkan nenek saya belum lahir, tempat kecil ini penuh dengan cerita-cerita yang bisa dikatakan sakral. Saya mendapat informasi mengenai Kota Muncar ini dari nenek yang sudah sepuh bernama Misuha. Sekarang, kota pesisir ini menjadi salah satu tempat penghasil ikan terbesar. Dahulunya merupakan tempat yang penuh tanda tanya bahkan dianggap tidak logis bagi orang-orang pada era sekarang.  Di tempat ini dulunya orang-orang tidak sembarang dalam bertutur kata atau bertingkah laku karena memegang teguh mitos yang dianut. Namun di era sekarang berbeda, bahkan banyak orang tidak percaya akan namanya mitos.

Pastinya orang-orang pribumi dulu yang tinggal di tempat ini sangat tabu bilamana era sekarang berangkat berlabuh ke tengah laut dan mendapat tangkapan ikan dengan mudah menggunakan perahu bermesin. Sebab, pada zaman dahulu mereka menggunakan sampan dan alat penggerak menggunakan angin laut, bila mendapat ikan meskipun dengan jumlah kecil karena minimnya peralatan untuk menangkap ikan, orang-orang yang ada di tempat ini tidak sembarangan memakan atau memasak di pelabuhan. Karena bila hal tersebut dilakukan  orang-orang yang tidak percaya dan melanggar mitos tersebut bisa keracunan bahkan sampai meninggal.

Hal ini berbeda dengan sekarang yang bebas dimanapun tempatnya untuk memasak ikan tangkapan, memang sih aneh jika difikirkan pada era sekarang ini, orang-orang yang ada di tempat ini sebagian besar orang pendatang. Ini bukan siapa yang paling benar, tapi ini menunjukan nenek moyang dulu adalah pelaut yang berbudaya luhur dan daya cipta yang luar biasa dalam berperadaban, bukan? Ya, orang-orang yang ada disini sebagian aslinya berasal dari pulau seberang yaitu Pulau Madura. Mereka menggunakan istilah “Toron” atau yang dalam bahasa Madura berarti pulang kampung. Sekarang transportasi sangat mudah dan cepat, sehingga waktu tempuh dari Muncar ke Madura hanya beberapa jasm saja. Sangat berbeda jauh dengan zaman dahulu yang membutuhkan waktu hingga berhari-hari untuk sampai ke Madura karena menggunakan sampan kecil dari nelayan. Bisa dikatakan sebagai sebuah perjalanan bertaruh nyawa.

Orang-orang zaman dahulu jikalau ingin toron atau pulang kampung ke Madura tidak perlu berbicara akan tetapi langsung berangkat. Sedangkan di era sekarang ketika ingin pergi dan ditanya oleh tetangga atau kerabat kita akan sebut tempat yang akan dituju. Jelas beda dengan zaman dahulu jika ingin pergi pulang kampung ke Madura, bila seseorang berkata hal tersebut (Toron), celaka lah orang tersebut entah mati diperjalanan ataupun mati tenggelam. begitulah pantangan bagi orang-orang yang ada di sini, memang aneh ya jika kita fikirkan di era sekarang ini benar-benar tidak masuk akal, tetapi hal tersebut memang benar-benar menarik, percaya atau tidaknya, itu terserah pembaca. Tapi itu ada dan nyata menurut kepercayaan dari tempat kecil, Muncar ini.

Memang benar belajar sejarah itu seru tetapi juga ada hal lucunya maka dari itu dengan lantang dan tegap Saya serukan "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jas Merah)"---mungkin sudah seperti Bung Karno kala doloe berpidato  kepresidenan menyampaikan Jas Merah di tahun 1967. 20 tahun ke depan giliran saya berpidato Kepresidenan iya pak, kalau tidak Bupati mungkin. Hehe


Sekilas Tentang Penulis : Galang  Mahendra Ardiansyah adalah seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Undiksha, Singaraja. Kini menjabat sebagai Ketua Umum Komisariat Panji Sakti, HMI Cabang Singaraja.