Menjadi Tuan atas Diri Sendiri

Sumber Gambar : Dok. Mohammad Zainul Fikri
Penulis : Mohammad Zainul Fikri

Panggung teater Lakon Urep itu terus menerus menertawakan diri dari segala arah mata angin berhembus merabai jiwa raga, sejenak dalam ketidakwarasan ingin mengistirahatkan hak atas raga dari medan percaturan. Tapi pikiran terus mengembara, tidak membiarkan berhenti begitu saja.

Perjalanan, selamanya tentang manusia, kehidupanya bukan kematianya. Ya, biarpun yang ditampilkan itu dalam betuk binatang, raksasa, Dewa, setan bahkan manusia setengah Dewa dan setan bercampur baur. Lantang teriaku, tidak ada yang lebih sulit untuk dipahami daripada makhluk manusia. Alam bersorai “Maha karya agung ciptaan tertinggi menjadikan manusia sebagai raja di jagat raya, mengemban amanah dalam wewujudkan keharmonisan hidup yang meghidupi”. Tapi jangan anggap remeh manusia, yang kelihatnya begitu sederhana. Biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam silet, perabaanmu lebih Peka daripada Dewa, pendengaranmu dapat menangkap riuh riang suara hati dan ratap tangis kehidupan, pengetahuanmu tentang manusia tidak bakal bisa kemput, sekalipun aji mumpung.

Memang sudah sangat jelas alam semesta senantiasa berubah. Gelanggang perbetukan berbagai pegaruh menghantam dan mau tidak mau kewarasan berfikir di seret bersikap terbuka dengan perubahan. Tentu saja hal ini sangat istimewa dan menarik jika tidak ada anggapan istimewa akan hal ini. Sudah bisa dipastikan dirimu akan hanyut tenggelam terseret arus perubahan yang begitu deras mengalir. Dengan membuka ketajaman jarak pandang ke segala arah ia tidak harus terjerat dalam tradisi setempat. Alam boleh juga sangat meghargai penalaran, keterpelajaran dan arti makna menjadi tuan atas diri sendiri dalam kewarasan. Sangat dimungkinkan pengetaqhuan sebagai penjelmaan dorongan batin megasah aroma karsa manusia.

Menjadi tuan atas diri sendiri harus keberpihakan pada kebenaran (independensi), suatu keharusan merawat diri guna menjadikan spirit perjuangan manusia yang berorientasi untuk kesejahteraan umat dan banga. Kewarasan independensi akan terjaga jika intelektual terus dikembangkan dalam diri, karena ruh daripada independensi adalah intelektualisme.

Manusia yang hidup dengan pikiran yang disebarkan, baik degan pena maupun dengan mulut, ingat bahwa kau perlulah pustaka yang cukup dan tepat. Kita masih ingat beberapa sindiran dihadapkan pada almarhum Mohammad Hatta, ketika di tengah kesulitan politik akibat tekanan kolonialis Belanda yang berkuasa di Indonesia saat itu. Bung Hatta tidak bisa berpisah jauh dari buku-bukunya  saat beliau diasingkan ke Boven digul Papua ia juga membawa serta buku-bukunya. Disana ia banyak punya waktu untuk membaca dan menulis, begitu pun degan kepindahanya ke Banda Neira, Bangka, hingga kembali ke Jakarta. Bagi Bung Hatta buku adalah tanda cinta. Bung Hatta muda mendapatkan kesempatan belajar dengan beasiswa ke Negeri Belanda. Bung Batta banyak megoleksi buku saat berada di Negeri Belanda. Semangat giat belajar dan sangat aktif terlibat pergerakan kemerdekaan. Dari sana ia membawa pulang harta karun berupa buku-buku ketika lulus.

Di antara hasil tulisanya di pembuangan, sebuah buku tentang filsafat berjudul Alam Pikiran Yunani, kemudian menjadi mas kawin pernikahanya degan Rahmi Rachim, seorang gadis yang dikenalkan Soekarno kepada Hatta. Cintanya kepada buku dan pengetahuan membuatnya yakin, buku dari hasil olah pemikiranya sendiri lebih berharga sebagai bukti cinta dari pada harta benda lainya. Ah, kisah ini bisa aku sebut, istri Bung Hatta yang pertama adalah buku sedangkan Rahmi istri kedua saja.

Mari kita ingat kembali, ketika Tan Malaka menjalankan pembuangannya ia tidak jauh berbeda pula akan  kecintaanya degan buku. Seperti buku agama, qur’an, bibel, budhisme, confucuisme, darwinisme, perkara ekonomi yang berdasar liberal, sosialistis sampai buku-buku riwayat dunia. Beberapa buku ilmu perang dan buku sekolah dari ilmu meghitung sampai ilmu mendidik. Pustaka menjadi kawan bahkan sepasang yang terpisah lalu kembali sepasang ketika Tan Malaka meninggalkan Nederland dan seluruh pustaka ia tinggalkan sebelum berangkat ke Moskow sampai ia kembali ke Indonesia, Tan Malaka kembali megumpulkan buku-buku yang berhubungan degan ekonomi, politik, sejarah,dan  ilmu pengetahuan.

Dari sepenggal cerita ini, bisa kita pahami bahwasanya tidak ada usaha yang kecil dan biasa biasa saja untuk melahirkan gagasan yang baik sampai akhirnya tan Malaka Menelurkan Beberapa buku seperti MADILOG, Semangat Muda, Aksi Masa, Menuju Republik Indonesia. Sudah cukup, kuatkan kepercayaan akan kelahiran nilai yang terkandung dalam berkehidupan, untukmu selamat menyelami atas diri sendiri.


Tentang Penulis : Mohammad Zainul Fikri (15 Agustus 1997) tanah kelahiran di ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi.Mengenyam pendidikan di Universitas Pendidikan Ganesha jurusan Pendidikan Sejarah. Sekarang berproses di kampus ke dua, Himpunan Mahasiswa Islam. Menjabat sebagai Ketua Bidang Pembinaan Anggota periode  2020-2021.