Bingkai Kenangan Seribu Jendela : Menikmati Khotbah Sang Maestro



Gambar Illustrasi Lukisan Umbu Landu Paranggi. Www.Jogja.post.com

PERCAKAPAN di punggung malam panggung "Seribu Jendela" kala itu, terus saja mengirimkan sebuah aroma hidup yang lebih hidup. Mengingatkanku pada memori lama gambaran sebatang rokok dan kopi hitam didepan duduk silanya. Kenangan itu, selalu datang menjadi  irama (khotbah Kehidupan bagi kami)  yang sangat beruntung bisa berguru kepada "Sang Maestro, Umbu Landu Paranggi, orang tua dari para penyair."

Petatah dan Petitih dari Sang Maestro Umbu, menjadi  sebuah ilustrasi menuju hamparan savana intuisi bagi kami, yang saat itu masih haus dan lapar akan sebuah wawasan. Panggung Seribu Jendela di Utara Bali, beserta sederet kenangan indah melukiskan harmoni Pluralisme,  yang masih menjadi bingkai kenangan dari sebuah lakon perjalanan  yang penuh gradasi keindahan warna.     

Sang Maestro Umbu,  tak pernah letih dalam menyisir makna sebuah kehidupan. Potret sederhana  yang menampak dalam setiap percakapan di Panggung Seribu Jendela, terus jadi inspirasi kami yang saat itu masih belia dalam hal menulis.

Kesederhanaan lelaki yang tak pernah lepas dari topi hitam, kemeja hitam dan celana lapangan, benar-benar jadi "lokomotif" nalar bagi kami, untuk dapat menterjemahkan setiap ejaan, kata, dan barisan kalimat, yang keluar di tengah kepulan asap dari bibirnya.

"Helai demi helai pesan hidup yang disampaikan  Umbu kepada   kami yang masih Balita dalam berkesenian sontak langsung menjadi lahar yang mendidih menggairahkan  Bali Utara yang lama tertidur dalam bersastra saat itu."

Sesekali muncul kata kata “Cintalah yang membuatku betah untuk sesekali bertahan”, bait pertama dalam sajak (Melodia), Karya, Umbu Landu Paranggi yang kerap diletupkan dalam percakapan di Panggung Seribu Jendela, hampir tiap bulannya saat itu.  

Percakapan Panggung Seribu Jendela dalam sengatan dingin kemarau  Bali Utara,   kian tambah berwarna dengan kehadiran Tan Lio Ie,  sang penyair "Bartalenta" saat itu. Keduanya telah menjadi hulu ledak kebangkitan sastra di Bumi Bali Utara.

Kehadiran sosok Umbu Landu Paranggi, menjadi sumbu penyala obor semangat dalam kehidupan kami, di era pergolakan zaman yang kian keras dari sudut politik tahun 90-an. Tidak hanya itu, kehadiran sosok Umbu Landu Paranggi, kian menambah aura rasa takjub dan kagum dari sosoknya yang terus menyisir perkampungan Bali, untuk membina dan melahirkan para seniman dan para penyair muda.

Kehangatan Sang maestro Umbu, di Bumi Bali Utara tidak hanya bergetar di Kampus Seribu Jendela saja. Ternyata kehadiran sosok Umbu, mampu membuat denyutan-denyutan kristal kebangkitan sastra di Bumi Bali Utara, pada saat kehadirannya di Dermaga Pelabuhan Bali Utara.

Kacang Rebus,  Kopi hitam, teh  hangat dan rokok berserak  dalam obrolan kami dengan Umbu Landu Paranggi, yang menghiasi bibir Pelabuhan Balai Utara. Akhirnya, pertemuan kami bersama Umbu, menjadi titik awal lahirnya "Dermaga Seni Buleleng" pada saat itu. Berlembar lembar angka-angka dalam kalender terus berganti.  Kerinduanku pada Umbu terus menjadi mimpi yang menggoda tidur malamku tiap hari.

Setiap pertemuanku dengan Umbu, bunga- bunga filsafatnya menjadi Khotbah kehidupan bagiku, yang terus terlontar dari bibir dan tatapan matanya yang dingin. Dari pojok Pakansari Stadium, hujan yang berloncatan menari dalam hamparan rumput, aku menulis sejuta  rindu ini kepada Sang Maestro Umbu Landu Paranggi.

"Beliau yang menjadi Ibu dan Ayah bagiku dalam belajar menulis, akan selalu jadi lampu bagiku dalam menterjemahkan firasat zaman."  (*****)

 =====================================













Tentang Penulis : Bingkai Kenangan Seribu Jendela Menikmati Khotbah Sang Maestro. Merupakam Karya Asli dari Asep Syahmid Pangrango, nama Pangrango adalah nama tambahan yang diberikan oleh Sang Maestro, Umbu secara langsung. Asep syahmid Pangrango, semasa mahasiswa merupakan salah satu diantara aktifis  sosial yang aktif di Tahun 90-an, di Kampus Seribu Jendela. Pada sekitar Tahun 1994 Beliau aktif di 'UKM Visi', Theater, Komunitas Dermaga  Seni Buleleng, ia juga merupakan salah satu generasi Perintis berdirinya HMI Cabang Singaraja, pada massanya, dan kini ia menjadi bagian dari "KAHMI" Buleleng. Ia sangat berpengalaman dalam menulis, salah satunya berpengalaman pernah menjadi wartawan di media Radar Bogor, Majalah Tren Bogor (Grup Jawa Pos) Tabloid Weekend, SK Pakuan (Grup Pikiran Rakyat), Pernah Kerja di Radar Pena.Com (Grup Jawa Pos), dan pernah menjadi Media Officer Persikabo tahun 2003 sampai 2013, Humas NPCI Kabupaten Bogor, pengurus KONI Bogor, dan kini ia menjadi Redaktur di Harian Jurnal Bogor.