Surat ke-7 untuk Marwan “Air Lembah”
Semuanya menjadi hal yang tidak pernah tersampaikan oleh kata atau makna, tidak ada umum, atau khusus maupun sesuatu hal istimewa. Meski semua jelas terlihat di mata, tapi tetap saja berada di sana, berada di mana tempat yang seharusnya tidak ditinggalinya. "Kenapa dia malah tetap tinggal di sana meratap, mengais sesuatu yang belum pasti terjadi, apakah dia idiot atau bodi lelaki jiwa perempuan atau bagaimana?”.
Surat ke-7 untukmu Marwan “Ramadhan 2057”
Menghabiskan waktu bersama alam, adalah sesuatu hal yang amat menyehatkan. Mendengar riuhnya kicau burung berbaur suara angin, gemericik suara air dan gugusan pepohonan. Kala itu di sebuah lembah. Andai saja lembah itu bisa aku bawa pulang ke rumah, aku tidak perlu repot berjalan jauh hanya untuk memandanginya.
Jika di dalam foto, aku hanya bisa melihat gambarnya saja. Suara alamnya, nyanyian burung berbaur angin tidak akan aku dapatkan, seperti dia yang belum aku dapatkan, aku hanya mampu memandanginya. Mampus kau, (ucapku untukknya).
Begitulah keindahannya, dia akan selalu dicari meski tanpa promosi. Kecantikan dan sesuatu yang rupawan itu adalah sebuah unsur, tidak ada tempat sampahnya di dunia ini. Jikalau dirawat dengan bijak akan menjadi contoh para umat bersolek.
Seperti cerca, kata yang sering diungkap manusia kepada manusia lainnya, seperti fitnah di junjung keindahannya, seperti “zona” dalam keindahannya yang tidak patut ditasfirkan, tapi patut dicatat. Alangkah bahagianya awake (aku dalam bahasa Buleleng-Bali). Ketika bertemu dengan keindahan semacam ini, tapi apalah daya aku hanya bisa memandanginya. Seperti bulan saat purnama indah, namun membuat udara menjadi dingin.
Akhirnya para manusia menarik selimut rapat dalam konak atau tidak. Meski pernah tertanding pada romansa cinta, aku yakin orang-orang seperti kaum bersolek, penjujung fitnah, dan pencerca pasti faham kalau orang yang sedang jatuh cinta itu adalah tagihan pribadi. Kurang lebihnya begitu Marwan, semoga kamu tidak kebingungan membaca keambiguan ini.
Karena jaman ambigu harus dengan tulisan ambigu. Seperti halnya di tahun ini, tahun 2057. Kau tahu apa yang terjadi di tahun 2057? bunga mawar tidak lagi tumbuh di atas tanah melainkan tumbuh di atas bantal-bantal dan meja di setiap kamar, burung sudah tidak lagi terbang di lingkungan “macth” (pergerakan benda angin dan suara), burung itu terbang di bawah bebatuan menggantikan udang-udang dan ikan .
Mereka sudah tidak di air manapun. Dia memulai populasi baru di lava bagian lapis ketiga bumi. Singa, gajah, jerapah dan hewan darat lainnya sudah menjadi tunggangan dan hewan ternak. Itu adalah teknologi pada jaman era 2057, di mana orang ketika ingin makan dan ingin memuaskan hasratnya, mereka tinggal memikirkannya dan tibalah semua keinginannya, semacam di Surga.
Tapi kamu tidak perlu bingung Marwan, manusia jaman kamu itu masih primitif karena masih merebutkan pangan dan sumber daya alam. Di jamanku, hal itu tidak di fikirkan, malah yang menjadi masalah yakni laki-laki dan perempuan jumlahnya 1:9 (satu banding sembilan). Istriku saja tujuh, itu peraturan pemerintah.
Orang-orang di jaman 2057 lebih suka mengonsumsi obat anti hamil. Mereka takut jika punya anak, anak yang lahir perempuan lagi. Ngelantur dikit gak apa-apa ya Marwan, kan sudah biasa kalau ngelantur itu bisa menjadikan kita manusia yang manusia “ngelantur”.
"Cinta memberiku lidah dan air mata. Kau pasti pahamkan isi dari hal itu? setiap kali menutup mata, kulihat lembah penuh keajaiban dan martabat gunung-gunung yang ditutupi dengan gemilang dan kebesaran yang mencoba menggapai langit".
Setiap kali menutup telingaku terhadap bingar-bingar kota, aku mendengar gumam anak sungai dan gerisik cabang pepohonan. Semua keindahan yang kubicarakan saat ini dan yang kurindukan untuk dilihat, seperti sawah yang rindu dengan air lembah untuk membuatnya basah kembali, melukai jiwaku, terkungkung dalam kegelapan masa muda, seperti harimau sirkus melihat kawanannya melintasi padang savana.
Lembah-lembah dan bukit-bukit itu membakar hayalanku, tetapi pikiran-pikiran pahit menjalin jaring keputusasaan di seputar hatiku. Muda dan rapuh tua dan renta. Hanya masalah masa saja, bukan masalah individu maupun kelompok.
Dalam kondisi seperti itu biasanya individu mencari cara agar dia mampu duduk pada keinginan yang dicari untuk memenuhi diri. Meski ekspektasi dan realita tidak selamanya bersandingan. Namun orang-orang seperti itu akan terus melontarkan argumenya pada sifat aslinya.
Coba kita lihat hal-hal kecil pada diri kita, ada beberapa yang kurang benar, semisal pola hidup, makan, minum, berak dan hubungan antar individu dan masyarakat. Masyarakat jamanmu itu primitif, mereka sering berkata “hidup itu lihat-melihat”, iya kalau dia mampu melihat dan memahami.
Tapi, kalau hatinya tidak kuat ketika melihat, munculah iri, dengki, hasut, kudeta, pelamahan, dan oposisi. Hal semacam ini tidak ada di tahun 2057, di mana manusia-manusia tidak perlu lagi melihat apakah kita punya data atau CV.
Masing-masing individu tidak perlu repot untuk menanyai apa dan bagaimana kamu hidup. Manusia antar manusia sudah tahu hal-hal kecil seperti itu, itu di tahun 2057. Di jamanmu kurang lebihnya bisa dikatakan bahwa kejahatan menjadi nilai yang paling tingi.
Kejahatan yang sebenarnya bukan menghilangkan nyawa, atau memusnahkan populasi manusia. Tapi kejahatan yang sangat berbahaya yakni, pembunuh karakter, pembunuh mental, pemotongan sudut padang, peracunan nalar kritis dan kebiri idealisme. Itu yang terjadi di jamanmu, sedangkan di jamanku, tahun 2057 tidak ada yang demikian.
Orang sibuk dengan istri dan kebahagiannya masing-masing. Bumi menjadi tempat tinggal favorit bagi semua makhluk. Bumimu pada saat itu menjadi tempat tinggal semua penakluk orientasi individu. Nah Marwan, alahkan menderitanya kamu tapi kamu ndak usah khawatir, jalan tidak cuma satu. Meskipun cinta itu cuma satu, tapi jalan untuk mendapatkanya itu bermacam-macam. Aku dan kami adalah salah satu penunggang cara itu.
Marwan, ambil kopimu dan nyalakan rokokmu. Jika kamu sekarang bersama pasanganmu, coba bisikin kepadanya dengan halus, dengan seyakin-yakinnya katakan padanya “Aku mencintaimu dengan kemerdekaanku. Cintaku mengajarkan kemerdekaan, cintamu memberiku kemerdekaan Kita berdua bersama menjalin kemerdekan dari ruh kenisbian.
Aku mencintaimu dengan kemerdekaanku” maka semestinya kamu paham Marwan, cinta itu memberikan sesuatu yang tak mungkin di dapatkan selain pada kondisi jatuh cinta. Ingat, jatuh cinta adalah tagihan pribadi dan hidup tidak sekadar mencari orientasi individu. Ada jalan yang belum kamu lalui dan ada tempat yang belum kamu singgahi, maka teruslah berproses dindaku, Marwan.
Setiap kali pergi keladang, aku kembali membawa rasa kecewa tanpa memahami sebab kekecewaan itu. Setiap kali memandang langit biru, aku merasa jantungku mengecil. Setiap kali mendengar nyanyian burung-burung dan suara angin pada musim hujan, aku menderita tanpa memahami alasan penderitaanku. Agak melow seperti para penyair atau para prosais.
Ah, sudahlah tetapi ini bagian dari perjalanan, jika ada hal yang kurang berkenaan pada surat ini marwan tolong jangan berkata yang tidak senonoh sesungguhnya cinta mengajarkan akhlak dan cara bicara, tapi jangan salah takaran nanti kena pasal.
Aku harap kamu mengerti Marwan. Jangan sampai kamu tidak mengerti mengenai hal-hal kecil seperti ini, karena aku menulis surat ini untukmu, siapa tahu dalam waktu dekat, mengalami nasib yang sama. Tapi aku doakan kamu Marwan, semoga kamu sehat selalu. Tapi marwan, jangan lupa hiduplah tanpa penyelasan. Selesaikan tanpa pertikaian, jalanani dengan kelanggengan. Maka kau akan masuk dalam nasib baik, hakikat bermartabat.
Tentang Penulis : Achmad Chalim, merupakan Aktivis HMI Cabang Singaraja. Ia, juga menjabat sebagai Ketum HMI Cabang Singaraja, Periode 2018/2019.