Sumber Gambar : Illustrasi saat kita dua pasang kaki bersama. Sonhaji/2019. doc
Kopi ini mulai dingin, kehangatan sudah tak terasa lagi. Rindu suasana bersamanya merupakan rasa kesakitanku di hari-hariku. Apalah daya, cinta hanya sekadar fantasi, semuanya terkemas kedalam realitas (fiksi). Namun berisikian intuisi yang tak pernah kau tanggapi.
Perlu kau tahu, akulah pelaku utama ke-fiksian itu (ujar realitasku). Akhir-akhir ini terkadang aku bingung mau di buat apa hatiku olehku? aku gak bertanya padamu, yang jelas, aku bertanya pada diriku sendiri.
Yaa. Karena akulah yang mengawali kisah hatiku dengan hatimu yang absurd itu. Akupun tahu betul tidak mudah untuk mencintaiku, si buruk rupa. Aku sadar akan alibi itu. Namun, perlu engkau tahu, bahwasanya aku hanya pura-pura tidak tahu saja, karena dalihku "mencintaimu sampai saling mencinta antara engkau dan aku, yang kelak akan menjadi kita".
Segala aktifitas hati telah kucurahkan semua, sekadar ingin melihatmu terlihat berseri-seri dan wajahmu pancarkan kebahagiaan.
Tidak... tidak... tidak pernah kau berfikir untuk timbal balik tentang perjuanganku dengan rasa tulus. Adapun, kau memang melakukan itu secara fisik (timbal balik), tapi tidak tulus dari lubuk hati kecil yang terdalam, yang kulihat dan kurasakan, demikian kau lakukan, hanya sekadar menghargiku seolah kau tulus padahal tidak dan tidak.
Aku bingung setelah ini harus berbuat apa, karena aku telah menyelami kisah ini dengan aksi nyataku yang telah berjuang banyak untuk merangkai kisah dengan mu, seolah bertujuan agar hidup bersama (ujar intuisi ku).
Secara eksplisit, kita berdua secara alur kebersamaan, merangkai kisah, tapi tidak secara implisit. Aku mencintaimu secara konkrit, tapi kamu mencintaiku secara hipokrit.
Sehingga esensi dari ketulusan soal hati, tidak pernah aku temukan, sebagaimana mestinya. Dan fantasi untuk hidup bersama terhenti dengan ending yang abstrak, karena tidak tertuangnya esensi kebijaksanaan dari tulusnya cintamu.
Kini hanya tersisa goresan sekaligus irisan atas ulahmu tentang kepura-puraan soal cinta, seolah sudah menjadi teman yang tak pernah mati di dalam hari-hariku (ujar aku kuatkan diriku, menerima kenyataan).
Oh roh dan jiwa. Mantraku habis kuucap dan kukaji, ternyata semuanya berbalut emosi tak kunjung terealisasi akan fantasi. Aku terdiam di tengah rumput dan angin yang terlalu dingin, sedingin suasana kita, kita dan kita.
Oh roh nya yang pergi, kembalilah seperti kemarin walaupun hanya sekadar delusif. "Stresku tingkat tinggi, dan penawarnya ada di suaramu wahai kasih !!".
Kepura-puraanmu telah dirindukan oleh hati yang tulus dan buta ini. Suara kebohonganmu tentang cinta, sudah terekam jelas oleh hati yang tulus menurutku.
Telah kau rangkai sedemikian rupa, dan kini rupanya terpola sehingga menjadi balutan daging yang merindukan kulit. Dan tersadar, aku hanyalah si buruk rupa, yang berfantasi terlalu tinggi, sehingga lupa akan realitasnya.
Dulu, sempat kuberfikir bahwa kepura-puraan soal pragmatis hanya ada dalam dunia politik. Ternyata, persepsiku salah besar soal itu. Dunia hipokritis ternyata menjalar di segala aspek kehidupan, bukan hanya di dunia perpolitikan saja rupanya.
Akan tetapi, di dunia hati pun ada. Dan kini sedang kurasakan kemunculan dari implikasi kehipoktritanmu itu. Hingga penderitaan, telah kumenderita. Karena ulah Kepura-puraanmu juga telah membentuk nalarku hingga konkrit, sehingga seolah menjadi titah untukku bervisioner jauh kedepan untuk menyemai keproduktifan soal hati.
Ternyata persepsiku soal realitas yang kita taburi kisah itu, rupanya hanyalah sekadar delusi, tidak se konkrit yang ku bayangkan soal nalar yang jauh kedepan untuk menciptakan kebijaksanaan soal kata “KITA” (ujarku hari ini dan seterusnya).
Kini ku tau kau hanyalah fanatikku dan ambisiku soal hatiku yang tak pernah ku tilik realitasnya. Ya, itu adalah kesalahanku tentang keambiguanku.
Soal kisah kita dari segala kerumitannya merupakan kontemplasi untuk hari-hari ku, namun tak pernah kutemukan kedamaian dari sebuah kontemplasi, gemuruh hati soal rindu akan suara kebohongan atas cinta masih mantap menggema, namun di samping itu aku sadar setelah berkontemplasi.
Bahwa Kegiatan berfikir itu harus di lakukan di setiap aktivitas apapun, di manapun dan kapanpun, guna terbentuknya mindset dan juga paradigma yang bijak. Karena hari ini aku tersadarkan berkat segala kepura-puraanmu, bahwa soal problem di kehidupan tidak boleh di pandang dan di persepsikan hanya di satu sisi sudut saja, namun segala aspek perlu di bedah di segala sudutnya agar di temukannya kebijaksanaan guna tidak "TERSESAT" seperti aku hari ini dan entah sampai kapan, (Hestek Qween Riham A.C).
Tentang Penulis: M. Sonhaji Abdullah, Ia merupakan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sosiologi S1, Universitas Pendidikan Ganesha-Singaraja- Bali. Belajar untuk Hobi menulis. Ia juga merupakan Aktivis (PMII) Singaraja, sekaligus Anggota Buddies aktif, untuk ABK dari Bali Kindness.