Essai : Kebebasan Akses Media Digitalisasi (Tanpa Batas) Menjadi Candu Benarkah “Generasi Millenial Jaman Now”, Sedang Darurat Kesehatan Mental ?


Sumber Gambar : Kesehatan Mental doc.

Menyoal Kesehatan Mental
Akhir-akhir ini kesehatan mental mulai banyak diperbincangkan, setelah terjadi dampak luar biasa dari perubahan dan sikap remaja, sebagai regenerasi Indonesia. Banyak anggapan bahwa remaja kini sudah tidak lagi menganggap kesehatan mental itu penting. Sehingga, timbul pertanyaan  apakah ada yang salah dengan kondisi mental remaja saat ini ?

Pada dasarnya kesehatan mental memegang peranan penting dalam diri remaja saat fase peralihan dari anak menuju dewasa. Sehingga terjadi banyak perubahan, mulai dari perubahan secara fisik, hormonal, kognitif atau kecerdasan, emosi dan perilaku.

Kebebasan Akses Media Digitalisasi  (Tanpa Batas) Menjadi Candu
Remaja sebagai generasi (Millennial)  atau disebut (Generasi Y) adalah kelompok demografis (cohort) setelah Generasi X. Peneliti sosial sering mengelompokkan generasi yang lahir diantara tahun 1980 an sampai 2000-an sebagai generasi millennial.

Jadi bisa dikatakan generasi millennial adalah generasi muda masa kini yang saat ini berusia dikisaran 15 – 34 tahun. Studi tentang generasi millenial di dunia, terutama di Amerika, sudah banyak dilakukan, diantaranya yang studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011. Dengan mengambil tema American Millennials: Deciphering the Enigma Generation. Tahun sebelumnya, 2010, Pew Research Center juga merilis laporan riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next.

Perbedaan yang mencolok dari generasi millennial ini dibanding generasi sebelumnya adalah soal penggunaan teknologi dan budaya pop/musik. Kehidupan generasi millennial tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet, entertainment/atau hiburan sudah menjadi kebutuhan pokok bagi generasi ini.

Benarkah “Generasi Millenial  Jaman Now”, Sedang Darurat Kesehatan Mental ?
Gaya hidup (Generasi millenial) yang cenderung hedonis terutama di Kota-kota besar sudah menjadi rahasia umum. Mereka cenderung terkesan berbeda dengan generasi pendahulunya dan memiliki cara tersendiri dalam meluapkan keinginan serta harapan melalui ekspresinya. Dunia mereka tidak bisa lepas dari hiburan teknologi dan digitalisasi internet, yang memberikan pelayanan serba instan dan cepat.

Akan tetapi perlu disadari bahwa, sikap dan budaya baru trend digitalisasi masa kini telah menjadikan mereka lupa daratan. Berkaitan masalah kesehatan mental yang sering muncul dari media sosial seperti, merasa rendah diri, merusak konsentrasi, penurunan harga diri, kecemasan, depresi, merasa kurang memiliki relasi, dan (kecanduan media sosial). 

Kecemasan- kecemasan di atas dapat terjadi, karena merasa ketinggalan informasi jika tidak membuka media sosial. Merasa terlambat untuk merespon teman atau menjadi remaja yang ketinggalan pembahasan bersama teman, turut menjadi alasan kecemasan. 

Sementara itu, melihat foto atau video yang diunggah oleh pengguna lainya, secara tidak langsung dapat memengaruhi diri kita sebagai remaja yang masih tidak tahu arah tujuan. Pengaruh tersebut berkenaan dengan harga diri dan penilaian terhadap diri sendiri. Ketika kamu membandingkan suatu unggahan terhadap keadaan dirimu sendiri, muncul rasa iri, sedih, atau tidak percaya diri. Belum lagi, keterikatan dengan gadget di malam hari, sangat berdampak pada terganggunya jam tidur remaja. 

Pada awalnya, mungkin merasa malam adalah waktu santai untuk menikmati media sosial sambil berisitrahat. Akan tetapi, seseorang bisa terjebak di dalamnya pada saat mereka bermedia sosial hingga lupa waktu dan lupa tujuanya.

Satu pandangan kedepanya yang cukup berbahaya, apabila memahami problematika kesehatan mental adalah menganggap isu tersebut sebagai (gangguan) yang bersifat sekunder. Artinya, sering sekali melihat permasalahan tersebut sebagai permasalahan yang tidak penting. Hal ini terutama dikarenakan oleh sifat gangguan mental yang lebih mudah disembunyikan dan tidak selalu tampak jelas dari luar, atau dampaknya yang tidak terlalu terasa secara langsung. 

Jika dipahami secara definisi Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemajuan dirinya (Daradjat, 1983). Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan “apabila seseorang mampu mewujudkan keharmonisan antara fungsi jiwanya seperti berpikir, merasa, dan lain-lain, serta mereka senantiasa berpikir secara positif dan mampu menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi dalam hidupnya”.

Menurut WHO (dalam Rasmun, 2001) menyebutkan bahwa terdapat beberapa kriteria orang yang sehat secara jiwa dan mental, antara lain; (1) mampu menyesuaikan diri dengan baik pada kenyataan, (2) adanya kepuasan dalam diri, baik kepuasan atas usaha atau memberi sesuatu, (3) adanya hubungan antar manusia, seperti sikap saling tolong-menolong, (4) introspeksi diri, (5) menyelesaikan permusuhan secara kreatif dan konstruktif, dan (6) mempunyai rasa kasih sayang.

Maka sudah sepatunya, kriteria di atas wajib dimiliki oleh setiap individu, karena berhubungan dengan kondisi mental mereka. Jika kriteria tersebut dapat dimiliki oleh setiap individu, maka dapat meminimalisir terjadinya kondisi mental yang tidak sehat (pada setiap individu).

Annisa Margrit, lewat tulisanya di media Online “Life Style.com” edisi 20 Mei 2018. Mengungkapkan bahwa Media sosial meski tidak menyebabkan masalah fisik seperti yang disebabkan oleh kecanduan alkohol, tembakau, atau obat-obatan terlarang, tapi media sosial memiliki masalahnya sendiri.

Adiksi terhadap media sosial bisa mengakibatkan gangguan jangka panjang terhadap emosi, perilaku, dan hubungan seseorang”. Lebih lanjut, wacana menarik di atas diperkuat Dosen Tamu di Old Age Psychiatry King's College, London, Tony Rao  mengatakan media sosial adalah sesuatu yang sangat penting bagi generasi milenial, yakni menjadi penghubung mereka dengan dunia luar. 

Bagi para milenial, yang lahir antara 1984-2005, teknologi digunakan untuk bersantai dan berinteraksi dengan orang lain. Kemudian,  dalam tulisannya yang dipublikasikan di laman World Economic Forum (WEF), seperti dikutip “Bisnis.com Minggu (20/5/2018).    
                     
Tony Rao, kembali menekankan bahwa media sosial lebih berbahaya bagi pengguna berusia muda dibandingkan orang-orang yang lebih tua. Menurutnya, kata kecanduan mengacu pada perilaku yang menyenangkan bagi seseorang dan menjadi satu-satunya alasan untuk menjalani hari-hari.

Namun, pada sisi lain, menjadi tidak signifikan."Generasi milenial mungkin tidak akan mengalami sakit liver atau kanker paru-paru dari media sosial, tapi tetap saja bisa merusak”. 

Akibat merusak ini terlihat dari perubahan perilaku. Kecanduan yang terjadi membuat mereka menghabiskan waktu semakin banyak untuk online demi mendapatkan rasa senang, yang berarti media sosial menjadi satu-satunya aktivitas yang membuat mereka terikat.

Pernyataan di atas kembali di perkuat dengan sebuah penelitian yakni : Pertama, (Setres di dalam diri), sebagaimana data yang dilansir dari media online ”BBC News Indonesia” tulisan Jessica Brown, edisi terbitan 16 Januari 2018. Mengungkapkan bahwa “Orang menggunakan media sosial untuk melampiaskan segalanya mulai dari layanan konsumen hingga politik, namun kelemahannya adalah seringkali unggahan kita menyerupai stres yang tak ada habisnya. 

Pada 2015, peneliti pada Pew Research Center yang berbasis di Washington DC berupaya untuk mengetahui apakah media sosial lebih menyebabkan stres dan bukannya menguranginya. Dalam survei yang melibatkan 1.800 orang, perempuan disebutkan lebih mengalami stres dibandingkan laki-laki. Ditemukan ternyata “Twitter” menjadi (penyumbang penting), karena meningkatkan kesadaran mereka akan tekanan yang dialami orang lain. Secara keseluruhan para peneliti menyimpulkan bahwa penggunaan media sosial terkait dengan stres (dengan tingkat yang lebih rendah).

Kedua, mempengaruh (suasana hati) pada Tahun 2014, peneliti di Austria menemukan bahwa mood atau suasana hati para responden mereka lebih rendah setelah menggunakan Facebook selama 20 menit dibandingkan mereka yang hanya berselancar di internet.

Studi tersebut, menunjukkan bahwa orang merasa seperti itu karena mereka melihat hal itu membuang waktu. Suasana hati yang baik atau buruk juga menyebar antar orang di media sosial, menurut peneliti dari Universitas California, yang menilai konten emosional dari lebih satu milliar unggahan status dari lebih 100 juta pengguna Facebook antara Tahun 2009 dan 2012.

Ketiga, mempengaruhi (Kecemasan dalam diri), para peneliti mengkaji kecemasan yang disebabkan media sosial, ditandai dengan perasaan gelisah dan khawatir, dan susah tidur dan berkonsentrasi. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Computers and Human Behaviour menemukan bahwa orang-orang yang menggunakan tujuh atau lebih jenis media sosial bisa menderita tiga kali atau lebih gejala kecemasan dibandingkan mereka yang hanya menggunakan 0-2 media sosial. Selanjutnya, peneliti dari Universitas Babes-Bolyai di Romania mengkaji penelitian yang sudah ada mengenai hubungan antara kecemasan sosial dan jejaring sosial pada 2016.

Keempat, memepengaruhi (Tidur), peneliti dari Universitas Pittsburgh bertanya pada 1.700 orang dengan rentang usia 18- sampai 30-tahun mengenai kebiasaan menggunakan media sosial dan tidur mereka. Para peneliti menemukan sebuah kaitan gangguan tidur - dan menyimpulkan cahaya biru merupakan salah satu penyebabnya. Seberapa sering mereka login, dan bukan brapa waktu yang dihabiskan di situs media sosial, diperkirakan merupakan penyebab dari gangguan tidur, yang menunjukkan sebuah sikap (pengecekan media sosial yang obsesif).

Media Sosial Bukan Penyebab “Gangguan Mental”
Namun, tetap saja  saya tidaklah setuju dengan pendapat di atas. Karena selama ini, banyak orang salah kaprah dalam menanggapi (gangguan kesehatan mental). Mereka beranggapan dan terlalu fokus pada medium perantara seperti media sosial, games, internet, televisi, gadget (sebagai media sosial) yang akan menaganggu pikiran dan memengaruhi kesehatan mental generasi pemuda-pemudi Bangsa.

Padahal dengan kemajuan dan perkembangan media sosial, para Generasi millineal, dapat  memanfaatkan segala sesuatu yang lebih positif   content creator peradaban millineal go digital, menjadi selebgram seperti “Mimi Peri, dan Atta Halilitar , seorang Youtuber Content, yang memiliki pendapatan luar biasa dari iklan mencapai lebih dari $590 ribu atau setara dengan Rp. 8,2 miliar.

Jika dirata-rata, satu video yang diunggah oleh Atta Halilintar, di channel YouTube-nya. Maka, ia  bisa meraup keuntungan sekitar $13 ribu atau setara dengan Rp182 juta. 

Yang Harus Dilakukan Generasi Millineall (Terhadap Media) 
Sebenarnya, media sosial bukan sebagai faktor utama yang memepengaruhi kesehatan mental remaja. Semua kembali kepada diri kita sebagai individu masing-masing, yang perlu ditekankankan adalah sikap sebagai individu remaja itu sendiri dalam berprilaku dan berkehidupan sosial, dengan mengimbangi melalui kebijaksanaan diri, dan berpikir cerdas. Serta bisa memilah, dan tidak salah langkah dalam menggunakan media sosial. 

Dengan menerapkan langkah  yakni : (1) Offline sejenak dari media sosial, dengan mengalihkan penggunaan media sosial, untuk memperbanyak sosialisasi secara konvensional (bertatap muka), dengan keluarga dan masyarakat  sekitar; (2) Membuat batasan atau mempergunakan content media sosial, seperlunya dengan menggunakan alarm waktu. Sebagai kontrol penggunaan media sosial setiap harinya, untuk menghindari kecemasan, setres berat, serta resiko lainya; (3) mencari kegiatan yang lebih positif  dan bermaafat sebagai penyeimbang, untuk mengurangi resiko ketergantungan media sosial; (4) menggunakan media sosial secara bijak dan cerdas, degan mempertimbangkan apa yang akan menjadi peluang dan maanfaat. Serta resiko apa yang akan didapatkan dari penggunaanya. 

Sehingga perlu memepertimbangkan langkah-langkah tersebut, maka remaja akan tetap bisa mengontrol diri, serta tidak (kecanduan berat) media sosial, yang akan mempengaruhi efek dari problem kesehatan mentalnya yang sering dikaitkan dengan gangguan  penggunaan media sosial yang berlebihan.



Tentang Penulis : Franky Dwi Damai, Ia merupakan pemuda yang berkesempatan baik dapat berkuliah di Universitas Pendidikan Ganesha-Singaraja- Bali. Ia, Mengambil studi Ilmu Hukum. Ia, juga seorang anggota HMI Cabang Singaraja. Cinta gerakan sosial  yang cenderung penuh (kebersamaan) serta hanif atau cenderung pada kebenaran.