Karangasem : Dan Sejuta Kenangan Yang Tersisa Saat Kuliah Kerja Nyata (KKN)




Karangasem adalah salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Bali. Akhir-akhir ini nama Karangasem sering diperbincangkan karena gunung berapi aktif di daerah itu sering mengalami erupsi. Gunung Agung namanya. Dan di Karangasem lah kisah baru itu dimulai.

KKN atau yang sering disebut Kuliah Kerja Nyata mengantarkan aku menginjakkan kaki di Karangasem. Awalnya aku ingin memilih Kabupaten Jembrana sebagai tempat KKN, karena banyak temanku yang memilih di sana. Namun, takdir sepertinya ingin aku mengabdi di Karangasem, tepatnya di Desa Nawakerti, Kecamatan Abang. Kuota ke Jembarana dan daerah lain habis dan aku sedikit kecewa. Jujur, awalnya aku punya ketakukan yang lumayan besar setelah namaku berhasil terdaftar menjadi salah satu peserta KKN Undiksha Kabupaten Karangasem, bagaimana tidak, tak sedikit yang bercerita bahwa tempat itu panas, susah air, susah jaringan dan tentu saja tentang Gunung Agung yang sewaktu-waktu bisa saja meletus.

Saat melakukan observasi, penilaianku terhadap Karangasem sedikit berubah. Nawakerti, desa yang menjadi tujuan KKN kami ternyata sangat sejuk. Beda sekali dengan tempat lain di Karangasem yang panasnya minta ampun. 

Kepala Desa menyambut kami dengan ramah, ia menceritakan banyak hal tentang Desa Nawakerti, terutama mengenai sumber perekonomian masyarakat. Sebagian warga desa menggantungkan hidupnya dengan berkebun, terutama berkebun kelapa. Terlihat sebagian besar lahan yang ada di Desa Nawakerti banyak ditumbuhi pohon kelapa yang ditanam oleh warga.

Terdapat tempat wisata yaitu Bumi Perkemahan Nawakerti, puluhan bahkan ratusan pohon pinus tumbuh di bumi perkemahan tersebut. Kata Bapak Kepala Desa, bumi perkemahan itu menjadi salah satu daya tarik yang dimiliki oleh desa. Bumi perkemahan itu sudah lumayan ramai dikunjungi, terutama di hari libur. Aku yakin suatu saat nanti, Bumi Perkemahan Nawakerti akan menjadi objek wisata yang memiliki banyak peminat jika terus dikembangkan.

Tepat tanggal 23 Juni 2019, aku dan teman-temanku berangkat dari Singajara menuju Karangasem untuk melaksanakan KKN. Jadwal KKN sebenarnya tanggal 24 Juni, tapi kami berinisiatif berangkat lebih cepat untuk membersihkan tempat yang akan kami huni kurang lebih 42 hari itu. Setelah menaikkan barang keatas mobil pick up, kamipun berangkat bersama-sama. Aku berangkat bersama Yeni, mahasiswa jurusan Biologi Murni Undiksha yang telah berbaik hati membocengku menuju tempat tujuan.

Di perjalanan kami menjumpai banyak sekali truk yang mengangkut pasir, itu membuat kami harus mengurangi kecepatan. Sepertinya Karangasem menjadi salah satu daerah pengahasil pasir di Bali,  terlihat dari banyaknya area yang menjadi tempat penggalian pasir yang kami temui di sepanjang jalan. Sungai-sungai mengering, menambah kesan bahwa daerah ini memang panas dan cukup gersang.

Pemandangan pantai dan juga bukit membuatku sedikit menikmati perjalan. Karena mengantuk, aku jadi lupa menikmati Gunung Agung dari Kejauhan, mataku hanya fokus kedepan dan ingin segera sampai karena aku sudah merasa sangat lelah.

  Waktu yang kami tempuh kurang lebih dua setengah jam dan sampailah kami di Desa Nawakerti. Posko kami adalah sebuah Balai Banjar, ada sebuah pura di tengah-tengah Balai Banjar tersebut. Kami harus membersihkan Balai terlebih dahulu sebelum menempatinya. Setelah bersih, yang laki-laki membuat sekat pemisah antara laki-laki dan perempuan. Ada satu ruangan yang digunakan untuk menyimpan peralatan Balai Banjar. Lucunya, setelah mengosongkan dan membersihkan ruangan itu, kami yang perempuan memilih untuk tidur di luar dan yang laki-laki tidur di dalam ruangan. Terkesan seperti kami yang menjaga laki-laki. Alasannya, karena di dalam pengap dan sedikit lembab. Bagian perempuan hanya ditutupi dengan terpal. Sedikit memprihatinkan memang.

Baru dua hari tinggal di posko, aku sudah ingin segera balik ke Singaraja, aku mulai tidak betah. Saat itu aku dan kawan-kawan lain belum terlalu akrab, kami masih canggung dan itu yang membuatku sedikit tidak nyaman, ditambah lagi angin malam yang dingin, masuk melalui celah terpal yang telah kami buat. Disana benar-benar dingin, aku yang terbiasa di Singaraja dengan cuaca yang selalu panas, harus menggunakan jaket setiap saat. Jujur aku benci dingin apalagi di malam hari.

Hal lain yang cukup mengganggu adalah jaringan di desa yang lumayan sering terganggu, sim card yang biasa aku gunakan benar-benar tidak cocok dipakai disana. Terpaksa aku harus mengisi pulsa di sim card-ku yang satunya, untuk mendaftar paket internet. Benar-benar desa terpencil, pikirku. Selain beberapa masalah yang aku sebutkan di atas, masalah terbesarnya adalah air. Kami harus membeli  air tiga hari sekali untuk mengisi dua tabung penampungan yang ada di Banjar seharga 60 ribu rupiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kecuali mandi, itu saja masih terbilang kurang. 

Untuk buang air, Kami menumpang di kamar mandi warga yang tinggal di samping posko, dan yang mengejutkan sekaligus bikin ngeri adalah, ternyata kamar mandi tersebut ada penunggunya. Eiittttt, jangan berpikir kalau yang menunggu atau menjaga kamar mandi tersebut adalah manusia atau sejenis makhluk halus, yang menjaga kamar mandi tersebut adalah babi dan anak-anaknya. Dammmm, babi itu ukurannya sebesar sapi dan itu adalah kali pertama aku melihat babi dengan jarak yang begitu dekat. Jangan ditanya bagaimana aromanya. Kita semua tentu paham bahwa umat muslim sangat sensitif dengan hewan tersebut. Aku masih heran sampai sekarang, kenapa pemilik rumah membuat kandang babi tepat di depan pintu kamar mandi dan hanya memberi sedikit jalan untuk masuk ke dalamnya.

Beruntungnya, selain kamar mandi yang dijaga babi ada satu lagi kamar mandi milik warga lain yang ada di samping posko. Meskipun, kamar mandi tersebut tidak terdapat air di dalamnya dan kami harus mengambil air terlebih dahulu, bagiku itu jauh lebih baik daripada harus uji nyali dengan babi-babi itu. Ngomong-ngomong hanya aku dan Yeni yang menggunakan kamar mandi itu, sedangkan yang lain memilih untuk tetap menggunakan kamar mandi yang dijaga babi. Kami menyebut kamar mandi itu, kamar mandi VIP.

Karena kami terkendala air, terpaksa kami harus mandi ke desa tetangga, Desa Pidpid namanya. Ada pemandian umum di sana. Hampir seluruh masyarakat yang tinggal didekat Desa Pidpid mandi di pemandian tersebut. Ada hal yang unik yang aku jumpai, kami harus menuruni puluhan anak tangga untuk sampai ke tempat pemandian. Ada jarak dan sekat yang cukup tinggi yang terbuat dari semen untuk memisahkan area laki-laki dan wanita. Untuk kesekian kalinya aku dibuat terkejut, wanita yang sedang mandi disana, baik itu anak-anak hingga orang tua hanya menutup bagian bawahnya dengan pakaian dalam dan membiarkan bagian atasnya terekspos begitu saja dan dilihat oleh wanita-wanita lainnya. Menurut mereka hal tersebut adalah lumrah, namun bagiku yang sangat jarang melihat hal tersebut merasa sedikit geli. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk tetap menggunakan pakaian lengkap ketika mandi. Ya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Waktu berjalan, dan program kerja mulai kami jalankan. Rapat sering kami adakan untuk membicarakan langkah apa saja yang akan kami ambil untuk menjalankan program kerja. Anak-anak desa mulai berdatangan mengunjungi posko, setelah kami berkunjung ke sekolah mereka untuk memperkenalkan diri dan proker yang akan kami jalankan. Kami mengadakan bimbingan belajar untuk mereka, tak kusangka mereka memiliki antusias yang cukup besar untuk belajar. Setiap sore posko selalu ramai didatangi anak-anak yang ingin menambah pengetahuan.

Dalam melaksanakan suatu kegiatan tentu ada kendalanya, begitu juga yang kami rasakan ketika menjalankan program kerja, kadang kala kami berbeda pendapat, wajar saja menyatukan 20 kepala dengan pemikiran yang berbeda, itu bukanlah hal yang mudah. Ditambah jadwal yang telah dibuat benar-benar tidak sesuai dengan yang kami hadapi di lokasi. Kami menyusun ulang semuanya, karena kekompakan tim dan rasa kekeluargaan yang kian terjalin, program kerja satu persatu kami selesaikan.

Aku mulai nyaman menetap di desa itu, kami sudah  mulai dekat satu sama lagi dan mulai mengerti sifat asli masing-masing. Karena KKN aku bisa bertemu dan bekerja sama 19 orang yang berbeda karakter. Aku akui tidak semua sifat mereka aku senangi, ada yang bersifat keibuan dan super perfecsionis, acuh tak acuh, suka mengambil keputusan sendiri, mudah terbawa perasaan, individualis dan lain sebagainya. Namun satu yang aku yakini, kita tidak bisa memaksa orang agar sesuai dengan kemauan kita. Setiap orang punya gayanya masing-masing. Jadi, aku cukup sedikit menurunkan ego agar makna KKN benar-benar terasa. 

Terlepas dari sifat teman-temanku yang menurutku kurang menyenangkan, aku mulai menyayangi mereka terutama yang perempuan. Kami tak lagi canggung seiring berjalannya waktu, entah sejak kapan kami saling mengejek lalu tertawa lepas. Dari situ aku mulai bersyukur ada diantara mereka. Beban KKN yang semula terasa berat, mulai ringan dijalani.

Untuk menghilangkan rasa jenuh di posko, aku dan beberapa temanku ( Viki, Nana, Savitri, Maha dan Ria) memilih untuk jalan-jalan. Tempat yang kami tuju adalah Taman Ujung, Amlapura. Amlapura merupakan pusat kotanya Karangasem. Kota Amlapura terbilang cukup ramai di bandingkan dengan Singaraja. Singaraja memang terkenal sepi, mungkin itulah salah satu daya tarik Kota Pendidikan ini.

Setelah membayar tiket seharga 15 ribu rupiah, kami diperbolehkan masuk untuk menikmati sore di Taman Ujung. Aku suka Taman Ujung, di sana kami melihat banyak bunga dan juga kolam. Terdapat bangunan-bangunan yang terkesan kuno dan arsitektur. Tak heran, banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang mengunjungi tempat wisata tersebut. Taman Ujung tak hanya cocok dijadikan tempat wisata, tetapi juga cocok dijadikan tempat berolah raga. Area yang luas, membuat pengunjung dengan leluasa bergerak kesana kemari.

Berfoto adalah hal yang tidak boleh dilewatkan jika mengunjungi tempat sebagus ini. Spot foto favoritku adalah bangunan tua yang menghadap langsung ke lautan. Untuk sampai ke bangunan tersebut, kami harus menaiki belasan anak tangga. Sesampainya di atas, pesona Taman Ujung benar-benar terlihat. Seluruh bagian dari tempat itu tersapu oleh mata kami. Ya, aku punya satu alasan lagi untuk mencintai Karangasem.

Selepas berkunjung ke Taman Ujung, aku jadi tertarik untuk mengunjungi tempat-tempat menarik di Karangasem lainnya. Dengar-dengar Pantai Virgin dan Bukit Asah menjadi destinasi wisata lain yang  terkenal dan menarik untuk dikunjungi.

Akhirnya kami sampai pada minggu terakhir KKN, bau-bau perpisahan mulai terasa. Meski aku rindu Singaraja, namun aku sudah terlanjur suka pada Karangasem dan juga teman-teman KKN-ku serta anak-anak desa yang selalu menyapa setiap kali melihat kami. 

Pada minggu terakhir, bimbingan belajar tidak kami laksanakan lagi, kami mempersiapakan diri untuk ujian KKN dan juga acara perpisahan. Namun, anak-anak itu masih sering mengunjungi posko setelah pulang sekolah atau beberapa dari mereka datang untuk latihan karena mereka mengisi acara perpisahan.

Aku sempat berharap setelah ujian bisa mengunjungi Pantai Virgin dan Bukit Asah. Karena kesibukan mempersiapkan acara perpisahan niat itu tidak terlaksanakan. Namun, Yeni mengajakku kesuatu tempat, katanya ingin meminjam kamera pada seseorang, sebagai alat dokumentasi acara perpisahan. Ada rasa malas untuk ikut, karena cauca sedang panas-panasnya waktu itu, namun karena tidak tega membiarkannya pergi sendirian aku memutuskan untuk ikut. Diperjalan aku melihat ada plang bertuliskan “Pantai Virgin dan Bukit Asah”, aku hanya bisa gigit jari karena hanya bisa melewatinya. Ya sudahlah, mungkin lain kali.

Kami menempuh perjalan satu jam, kata Yeni sebenarnya perjalan masih panjang.  Namun, karena mengingat sorenya ada gladi, kami memutuskan untuk menunggu teman Yeni di sebuah pantai. Pantai Candidasa Namanya, aku tebak pantai itu tak lebih bagus dari pantai Virgin, namun aku merasa cukup senang karena melihat lautan dan obak yang bergulung-gulung. Terima kasih Yeni.

Hari perpisahan itupun datang, aku dipercaya menjadi MC diacara tersebut. Selain para guru, aparat desa dan juga tokoh masyarakat, kursi penonton diramaikan oleh kedatangan siswa-siswa sekolah dasar. Selain kami, mungkin anak-anak itulah yang paling merasa sedih karena perpisahan itu. 

Acara berjalan cukup meriah, beberapa anak yang megisi acara menunjukan kebolehannya bernyanyi dan menari. Selain itu, terdapat games yang mengundang tawa penonton. Sungguh acara yang berkesan. Namun diakhir acara, tangis itupun pecah, kami dan anak-anak desa tak kuasa membendung air mata. Mereka memeluk kami satu persatu, tanda bahwa mereka menolak perpisahan. Ternyata waktu sebualan lebih itu, terasa begitu singkat.

Keesokan harinya, kami berkemas. Sebagian dari kami menuju Singaraja dan sebagian lainnya pulang ke Kampung Halaman. Setelah berjabat tangan kepada teman-teman, Aku dan Yeni pergi lebih dulu, barang-barang kami diangkut oleh temannya Yeni. 

Nawakerti mendung pagi itu, hatiku juga diselimuti kabut rasanya. Ingin sekali aku memeluk adilk-adik itu sekali lagi sebelum benar-benar pergi. Pertemuan selalu berakhir pada perpisahan. Ya, aku tahu itu.
Motor yang dikendarai Yeni membelah jalanan Karangasem, Nawakerti sudah hilang dari pandangan, namun tidak dari ingatan. Aku tersenyum di balik punggung gadis yang kala itu tengah membocengku, tak kuduga, dia yang memboncengku menuju karangasem, dia juga yang membawaku balik menuju Singaraja. Yeni memang menjadi orang yang paling dekat denganku selama KKN, bahkan aku memiliki panggilan khusus untuknya, Yeni Bakpao, kerena pipinya bulat seperti Bakpao.

Mataku tak lepas memandang Gunung Agung yang berdiri kokoh, puncaknya telah gundul karena beberapa kali erupsi. Aku berdoa, semoga masyarakat selalu diberikan keselamatan oleh Tuhan.  Terima Kasih Karangasem atas sejuta kenangan yang akan selalu kuingat dalam ingatan. 42 hari menjadi hari-hari yang sangat berharga untukku. Sampai jumpa di lain waktu.






Tentang Penulis : Nur Alfillail, Ia seorang Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (S1) Universitas Pendidikan Ganesha Bali. Beliau juga merupakan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang  Singaraja.