(Sumber Gambar : Doc. Jaswanto 2019)
Beberapa minggu yang lalu, baru saja saya menyelesaikan buku bacaan yang berjudul Merdeka Sejak Hati (2019). Buku ini tentang memoar Ayahanda Lafran Pane yang ditulis oleh A. Fuadi. Setelah membaca buku ini, saya merasa durhaka kepada Ayahanda Lafran Pane—durhaka sekali.
Tetapi saya tidak hendak membahas buku tersebut. Lain kali saja saya bahas. Atau jika ada yang ingin mendiskusikan buku itu, silakan datangi saja kontrakan saya. Dengan senang hati saya akan membagi isinya.
Untuk HMI, saya memang belum bisa berkontribusi apa-apa. Siapalah saya. Saya hanya seorang anggota biasa yang selalu gelisah (atau meratapi?) tentang kemunduran HMI, belum bisa memberikan trobosan-trobosan baru untuk mengembalikan kejayaan HMI. Tentu saya sadar akan hal itu. Dan lebih baik saya sampaikan diawal terkait hal ini.
Tetapi saya mencoba sadar, apa yang menimpa HMI akhir-akhir ini adalah konsekuensi dari pertarungan wacana berorganisasi para kader. Perlu diketahui, di internal HMI—dari PB HMI sampai komisariat—terjadi persaingan tersembunyi antara anggota yang senantiasa menggeluti wacana intelektual-kultural dengan mereka yang rajin mengusung semangat politis-struktural.
Jika saya boleh berpendapat, seandainya kedua entitas ini bersatu, saling mengisi satu sama lain, dan saling membantu untuk mewujudkan tujuan organisasi—sebagaimana hasil Kongres Malang, yakni: terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT—pastilah HMI akan tetap menjadi organisasi elit di kalangan mahasiswa—atau bahkan di mata masyarakat Indonesia.
Namun, alih-alih bersatu dan saling membantu, yang terjadi malah semakin dominannya kelompok politis-struktural yang selalu membicarakan dan melihat struktur atau jabatan di HMI menjadi segala-galanya sehingga layak diperebutkan dengan berbagai cara. Sebaliknya, mereka sama sekali tidak melihat kualitas dan kapabilitas dirinya dalam mewujudkan amanah organisasi.
Gejala ini bagi saya sangat memprihatinkan. Dari PB HMI, cabang hingga komisariat sangat terlihat nuansa politiknya (tentu tidak semua cabang dan komisariat demikian). Akibatnya, dalam setiap kongres atau konferensi—pergantian kepengurusan—hanya berdasarkan “kontribusi politik” kelompok tanpa mempedulikan apalagi memberi tempat bagi mereka yang sesungguhnya berkualitas hanya lantaran tidak mempunyai sumbangan apa pun di arena kongres bagi ketua umum terpilih.
Dan yang terjadi, HMI hanya menjadi tempat “parkir” bagi mereka yang memiliki kepentingan politis-struktural—yang kemudian menggantungkan masa depannya dari organisasi. Tidak sampai di sini, sikap dan gerakan organisasi pun menjadi sangat pragmatis dan instan, karena suasana HMI sekarang memang sangat mendukung kadernya untuk menjadi oportunis dan menghalalkan segara cara demi kepentingan pribadi.
Kader politis-struktural ini biasanya juga memiliki kebiasaan “menjual” organisasi dengan membangun bargaining di hadapan birokrat, tokoh politik maupun orang-orang istana. Ini menjadikan suara kritis dan sikap korektif HMI tenggelam dalam pusaran isu dan rumor politik yang amat tinggi di tubuh HMI.
Kuatnya wacana politis-struktural di HMI mengakibatkan terpinggirnya secara perlahan mereka yang mengedepankan gerakan intelektual-kultural. Karena itu, banyak sekali kader yang “lari” meninggalkan HMI dan rajin membangun wacana melalui studi maupun lembaga yang mereka anggap bisa menjadi wadah untuk mengembangkan pemikiran dan potensi yang mereka miliki. Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk aktif di komunitas-komunitas, kelompok-kelompok diskusi, atau bahkan masuk organisasi lain.
Hal ini sangat berdampak bagi kualitas gagasan yang dilontarkan HMI atau minimnya suara kritis ketika membaca realitas sosial yang sedang terjadi. Terhadap permasalahan umat dan bangsa, misalnya. HMI tekadang malah ikut arus. Dalam hal ini, saya malah teringat kata-kata Cak Nur tentang “pembubaran HMI” beberapa tahun lalu.
Dominannya kelompok politis-struktural—yang hampir menenggelamkan kelompok intelektual-kultural—di tubuh HMI, menjadikan suasana organisasi “tidak sehat”. Banyaknya isu dan rumor politik yang beredar di kepengurusan PB HMI mempengaruhi kader-kader di tinggkat komisariat.
Sampai di sini, perlu dingatkan kembali, siapa pun yang ingin masuk HMI dengan harapan ingin mendalami ajaran agama Islam atau mengasah intelektualitasnya, pada akhirnya harus memperoleh kekecewaan yang amat sangat karena memang tidak akan pernah menemukannya di HMI.
Akhirnya, HMI memang harus segera melakukan reorientasi arah pergerakan (atau bahkan kembali ke khitoh 1947: mempertahankan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam) dan pembaruan sistem pengkaderan yang kontekstual. Tidak hanya itu, dalam pergantian kepengurusan, HMI juga harus memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki intelektualitas juga kejernihan berpikir, meski tidak memiliki kontribusi politik dalam memenangkan kandidat calon ketua umum.
HMI juga harus segera melakukan manuver untuk mengembalikan keberadaan dan peran kader di berbagai perguruan tinggi dan masyarakat. Dan, satu upaya untuk menjalankan misi keislamannya, tidak lain, HMI harus kembali ke masjid kampus. Menjadikan masjid kampus sebagai basis pergerakan yang dinamis, modern dan mampu menelorkan mahasiswa berkualitas secara keilmuan maupun keislamannya. Karena menurut saya, sebagai kader HMI, seharusnya tidak hanya mengenal bangsanya saja, tetapi juga wajib mengenal agamanya.
Tentang Penulis : Jaswanto, merupakan Anggota HMI Cabang Singaraja, Mantan Dirut LAPMI Cabang Singaraja Periode 2017-2018. Founder Perpustakaan Jalanan Lentera Merah.