Aku adalah seorang pemuda yang berasal dari pulau kecil yang bernama Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura. Aku sering disapa Mpek Kangean oleh kawan-kawanku. Dan sekarang tepat jam 13.00 WITA, Selasa 18 Juni 2019, terhitung sudah delapan hari aku berada di kota pendidikan Singaraja, setelah balik dari tempat tinggalku, Kepulauan Kangean, untuk mudik lebaran.
Kini, aku sedang duduk bersila di teras Masjid An-Nur Batalyon Raider 900 SBW dengan posisi tepat menghadap ke lapangan upacara yang hijau. Aku masih mengenakan sarung dengan atasan baju batik bekas lebaran dan peci warna putih berlogo Nahdatul Ulama.
Aku baru saja selesai melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Dengan kepala sedikit menunduk, kulit yang masih basah oleh air wudhu, aku mencoba membuka laptop dan dalam waktu sepersekian jariku mulai mengetik diatas keyboard, diriku seakan dituntun oleh hati ini untuk menumpahkan dan menyuarakanakan kabar yang tadi aku dapatkan dari salah satu grup whatsapp di HP-ku yaitu kabar duka mengenai tenggelamnya KM. ARIM JAYA. Kapal Motor itu membawa penumpang kurang lebih 60 orang dan tenggelam di perairan Selat Sepudidangiliiyang, yang berangkat dari pulau Guwa-guwa menuju Kalianget, Sumenep, Madura pada senin 17/06/2019 kemarin.
Entah mengapa, saat aku mulai merangkai kata, jari ini gemetar dan mataku mulai berkaca-kaca , tanpa aku sadari air mataku menetes membayangkan belasan korban yang dinyatakan meninggal atas tragedi tenggelamnya kapal motor Arim Jaya itu. Kejadian ini, memutar ingatanku tentang perjalan balik dari mudik kemarin. Perjalan itu penuh dengan perjuangan sebelum menginjakan kaki di kota pendidikan ini lagi.
Aku masih ingat betul, perjalan yang aku lalui dengan perahu itu memakan waktu selama 12 jam di atas laut. Tangisan itu semakin tidak bisa aku bendung, tak bisa aku bayangkan perasaan para penumpang kapal motor yang dipakai untuk menyebrang lautan luas. Mereka pasti merasa cemas dan khawatir dengan tangisan korban yang memenuhi kapal tradisional itu.
Kejadian kemarin membuat hatiku miris, perahu yang aku tumpangi bukan perahu yang di lengkapi fasilisatas keamanan yang lengkap, melaikan perahu dari kayu jati yang sudah tua umurnya. Naik perahu kayu itu, ternyata tidak senyaman yang kita bayangkan. Bagi warga setempat dengan kultur pesisir, tentu tidak masalah dalam mengendalikan perahu kecil di lautan yang berombak, mereka sejak kecil sudah akrab dengan lautan. Berenang dan mengendalikan perahu sudah menjadi hal yang biasa.
Tapi bagaimana dengan ku? Aha, ini dia masalahnya, berenang saja aku sudah lupa caranya. Tapi saat itu, mau tidak mau saya harus menaiki perahu jika ingin singgah kembali di Singaraja, Bali. Sebelumnya, aku pernah juga naik kapal motor dan beberapa kali naik kapal besar yang disebut Kapal Feri. Meski ini bukan pengalaman pertama saya dalam hal mengarungi laut, Namun, dengan ukuran perahu yang lebih kecil dari biasanya, yang hanya mampu membawa kurang lebih lima orang, membuat saya dilanda kekhawatiran yang besar.
Perjalanan jauh dan menegangkan seperti tidak ada ujungnya. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya lautan lepas. Dan yang menjadi masalah lagi adalah setiap aku menaiki kapal atau perahu, aku selalu mengalami mabuk laut, aku hanya bisa pasrah dengan keadaan. Terlepas dari semua itu, sebenarnya menaiki perahu memiliki seninya tersendiri, kami harus berlayar di atas lautan yang dalam terlebih dulu supaya perahu itu tidak menyentuh dasar lautan di daerah pinggiran yang biasanya dangkal dan terdapat banyak batu karang.
Selain itu, air laut kerap kali masuk kedalam perahu, ombak besar juga membuat perahu kami terombang ambing oleh ombak yang seolah-olah ingin menghempaskan kami. Wajah kami semua sudah pucat bin pasih, kecuali wajah pemilik perahu yang terlihat santai tapi sangar, Pak Mahmud namanya. Hati ini tak henti-hentinya bertakbir ”Allahuakbar” saat beberapa kali ombak menggoyang perahu kami. Tidak ada perbincangan di antara kami selama perjalanan entah karena terlalu berisik karena suara mesin diesel perahu, atau juga karena kami terlalu khusuk berdoa sendiri-sendiri.
Dalam hatiku tiba-tiba muncul penyesalan tidak mengasah keahlian berenang sejak kecil. Mungkin ini sudah menjadi takdirku, ya sudahlah.Ada dua pulau yang kami lewati, diantaranya pulau Sayebus dan pulau Saur. Setelah melewati pulau-pulau tersebut, saatnya kami meluncur menuju laut lepas. Perjalanan memakan waktu kira-kira 12 jam. Waktu satu jam terasa berhari-hari bagiku. Terombang-ambing dalam kepasrahan dan jauh dari kenyamanan.
Ketika malam, rembulan terasa begitu dekat dengan sinarnya menerangi laut yang gelap gulita. Pengalaman tersebut mengajarkan aku tentang betapa hebatnya para pelaut di negeri ini. Lautan ganas sudah mereka taklukkan dan menjadi teman sehari-hari. Maka seharusnya kita malu karena masih suka menawar harga ikan laut di pasar. Nelayan telah menangkap ikan-ikan tersebut dengan pertaruh nyawa, kemudian dijual dengan murah untuk bias dinikmati orang-orang yang jarang melihat lautan.
Tak bisa kubayangkan kembali bagaimana keadaan saudara-saudaraku yang ada di atas KM. Arim Jaya yang kemarin kandas dilautan itu. Aku tak tahu sampai kapan kami anak pulau harus menikmati perjalanan kami yang seperti ini. Seketika aku berfikir, bagaimana kalau di pesisir Jawa, Sumatra, Kalimantan di bangun jembatan layang yang menghubungkan pulau yang satu dengan yang lain, pasti tidak akan ada rasa cemas ketika menempuh perjalan jauh.
Sejujurnya kami anak pesisir akan sangat bersyukur jika pemerintah bersedia membangun sarana transportasi laut yang lebih layak, agar tidak ada lagi saudara-saudara kami yang harus meregang nyawa ketika mengarungi lautan.
Moh. febryandy
Mahasiswa PKN Undiksha
Anggota HMI Cabang Singaraja