(Sumber Gambar : Dokumen Jaswanto)
Terhitung sudah hampir tiga tahun lebih saya berhimpun. Banyak hal yang saya dapatkan selama berhimpun. Walaupun, sampai sekarang, banyak hal juga yang belum saya ketahui. Artinya, saya harus terus berproses, toh. Ya, proses tetap harus berlangsung. Terus menerus.
HMI (Himpunan Mahahsiswa Islam) adalah—seperti yang pernah ditulis oleh Puthut EA dalam esainya—salah satu organisasi mahasiswa yang telah memenangi pertarungan paling keras dalam sejarah Republik ini. Sebagai anggota HMI, saya sedikit tahu tentang hal itu.
Misalnya saja tentang pertarungan HMI dengan ormawa lainnya pada tahun genting 1965, HMI telah berhasil memenangi laga dengan menyingkirkan dua rival politiknya: CGMI dan GMNI.CGMI (organisasi mahasiswa urderbow PKI yang sebelumnya meneriakkan: bubarkan HMI) amblas bersama hancurnya PKI, sedangkan GMNI meringkuk dalam segala keterbatasan seiring dengan redupnya pamor Sukarno dan PNI.
Praktis, selama Orde Baru berkuasa, HMI menjadi satu-satunya organisasi mahasiswa yang berjaya—walaupun sempat terbelah menjadi dua antara yang pro-azas tunggal dengan tidak. Maka tidak heran, HMI banyak menelorkan para bintang Orde Baru macam Kanda Akbar Tanjung.
HMI juga melahirkan intelektual mumpuni macam almarhur Kanda Nurcholis Majid. Dan kelak melahirkan banyak penentang Orde Baru macam Amien Rais. Begitu tulis Puthut EA.
Ya, seperti yang telah dituliskan oleh Abd. Rohim Ghazali, Sekjen DPP IMM, dalam tulisannya yang berjudul Ketika Intelektualisme HMI Meredup—tulisan yang diterbitkan di Harian Kompas, Jakarta, tanggal 5 Februari 1997—satu hal yang harus diakui dari eksistensi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia adalah kontribusinya dalam diskursus intelektualisme Islam.
Deliar Noer, Nurcholis Majid, dan M. Dawam Rahardjo adalah di antara nama-nama yang pernah dibesarkan dalam HMI.Kebesaran HMI, antara lain karena ketekunannya dalam melakukan kaderisasi. HMI berhasil menampilkan diri sebagai organisasi mahasiswa yang berani melakukan terobosan intelektual dengan pemikiran-pemikiran alternatif yang mampu mencairkan kebekuan Islam ideologis pada masanya.
Istimewanya lagi, pola kaderisasi yang dikembangkan bukan sekadar sarana pengisi ruang kognisi para anggotanya. Tetapi juga menjadi komitmen afeksi dari para aktornya. Dan, semenjak Orde Baru, praktis, satu-satunya rival HMI hanyalah PMII—yang didirikan oleh Mahbub Djunaidi pada 1960.
Bagi beberapa kalangan, itu pun bukan rival sebanding. Hanya Gus Dur yang bisa menjelaskan dengan apik kenapa kedua organ mahasiswa Islam ini dibilang tak setara. Kata Gus Dur, “Kalau HMI selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, sementara PMII tak pernah tahu tujuannya apalagi caranya.”
Tapi hidup ini tak selamanya seperti kisah dalam FTV, yang selalu happy ending. HMI tak selamanya bernasib begitu. Gelombang surut HMI mulai terasa di era gerakan ’98. Sebagian kader dan massa HMI lari ke KAMMI.
***
Dan tidak berlebihan memang, betapa HMI pernah menggoreskan tradisi intelektual yang signifikan dalam khazanah pemikiran keislaman dan keindonesiaan. Ya, pernah. Karena pada beberapa dasawarsa terakhir ini, tradisi itu tampaknya semakin meredup. Dan, kini rasanya sulit mencari indikator baru bagi survivenya HMI secara intelektual.
Tidak salah jika Buya Syafii Maarif berpendapat bahwa tradisi intelektual HMI kini telah menempati buritan sejarah.
Pada era HMI kontemporer ini, tampaknya tradisi intelektual HMI bukan hanya sekadar meredup, tapi sudah mati terkubur sejarah. Para aktivis HMI kini sudah tidak lagi tertarik dengan suasana intelectual exercises dalam forum-forum diskusi.
Bahkan tampaknya, yang lebih banyak dicerna dalam kaderisasi formalnya pun, bukan lagi kajian dasar dan filosofi dari suatu disiplin ilmu, tapi lebih pada penyajian teknik-teknik strategis yang berorientasi struktural. Betapa pun gagal atau berhasil, tampilnya kader-kader HMI sebagai kandidat ketua umum ormawa internal kampus, maupun ketua umum OKP lainnya, menjadi salah satu indikator perubahan orientasi HMI, dari intelektual ke struktural.
Sebagai kader HMI, saya tidak tahu perisis, apakah pergeseran orientasi ini merupkan bagian dari grand strategy yang telah dirancang, misalnya sebagai tindak lanjut dari penguatan (strengthening) struktur ke dalam maka perlu adanya aktualisasi ke luar dengan mengisi pos-pos yang ada dalam struktural kekuasaan, atau sekadar kompensasi akibat kegagalannya melakukan pemberdayaan (empowering) institusi ke dalam karena serbuan tuntutan realitas yang tidak terbendung? Entahlah.
Pada Februari, 2019 yang lalu, Abdul Gaffar menulis di kolom detik.com, bahwa bukti pergeseran perjuangan paradigma kader HMI ke arah politik sebagai basis dan orientasi utama. Sangat tepat jika ada orang mengatakan, posisi HMI tidak ubahnya sebagai batu loncatan untuk meraih kekuasaan semata “to organize of power”.
Gaffar melanjutkan, problem itu menyebabkan HMI mengalami proses stagnasi berpikir kritis progresif yang menyebabkan kekuatan moral force berupa “independensi” semakin terabaikan begitu saja berubah menjadi political force.
Sepinya berpikir kritis di tingkat aktivis HMI menjadi bukti bahwa telah berubah haluan menjadi pemalas untuk membaca.
HMI hari ini seperti organisasi yang hidup segan mati tak mau, sudah hijrah dari tradisi intelektual baca-tulis ke tradisi poster ucapan selamat dan video ucapan selamat.
Akhirnya kader-kader yang punya minat lebih pada gairah keilmuan memilih menempuh jalan sunyi sendirian: mengulik buku dan secara berkala menulis esai di koran, media online, atau mendirikan komunitas-komunitas intelektual di luar HMI.
Entahlah, kapasitas saya sebagai anggota biasa di HMI, hanya bisa sekadar gelisah, tidak mampu memberikan solusi terbaik dalam masalah pergeseran paradigma ini.
Tetapi saya berharap, siapa pun itu, setelah membaca catatan pendek ini, timbul kesadaran untuk mulai berbenah, mulai merekonstruksi ulang paradigma berpikir kader-kader HMI untuk kembali meramaikan jagat intelektual di tengah-tengah zaman yang kacau ini.
Ya, bukankah kita selalu bersandar pada kaidah “akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernapaskan Islam”, untuk memelihara tradisi lama yang baik dan memasukkan unsur baru yang baik pula? Saya pikir demikian.
Tentang Penulis : Jaswanto, merupakan Anggota HMI Cabang Singaraja, Mantan Dirut LAPMI Cabang Singaraja Periode 2017-2018, dan kini menjabat sebagai Kabid Pembinaan Anggota 2018-2019.