Aku sudah melangkah terlalu jauh. Tidak ada jalan kembali, namun hal terbaik yang bisa kulakukan saat ini adalah untuk terus melangkah. Samasekali tidak ada apa-apa yang aku bawa pergi, hanya jejak dan ingatan yang sedang berusaha aku tinggalkan di sepanjang jalan. Kau bahkan tak sempat menoleh sekedar bertanya kemana aku akan pergi. Luka, luka, luka yang menyertaiku...
Sudah tak bisa kuhitung lagi langkahku. Tidak ada air mata yang jatuh namun luka yang semakin lebam. “Duhai lara, lara yang pilu... tidakkah kau lelah bersemayam di hati?”, perih adalah jawaban dari tanyaku. Tertunduk terus mataku kebawah, dimana sepasang kaki itu tertinggal duhai yang sedang lara? perjalanan belum juga bertemu ujungnya. Lelah menghampiri, andai saja air mata ada tersisa, mungkin ada baiknya saat ini aku harus menangis.
Aku paksa raga untuk berhenti, langit luas, bintang yang terang menemani. Andai bintang mendegar lirihku, mungkin akan redup sepertiku. Apa obatnya lukaku, sayang?.
“Kenapa berhenti wahai yang sedang murung?” tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba berhenti di sampingku. Tidak ada jawaban yang aku berikan sama seperti obat rahasia dari lukaku yang belum ada. Hanya senyum sinis yang aku lemparkan sebagai tanda bahwa aku tidak ingin diganggu.
Laki-laki itu terus mengikutiku sepanjang jalan dan terus melontarkan banyak pertanyaan yang satupun aku tidak berniat untuk menjawab. “aku tidak tau apa hendak yang sedang engkau cari nona, keramaian, kebahagiaan, obat penawar, atau cinta. Aku seorang lelaki yang kesepian, aku hendak mencari keramaian tapi belum kutemukan.
Mari berhenti sejenak nona, aku ingin bercerita” katanya sambil menarik tanganku dan duduk di tengah padang rumput yang luas. Hanya ada aku, rumput, langit luas, dan bintang yang terus terang. Entah apa yang membuatku untuk menurut Aku juga tidak ingat bagaimana aku bisa sampai ditempat ini.
Di sepanjang jalan aku bertemu banyak macam hal, katanya mulai bercerita. Pertemuanku yang pertama yaitu dengan kesedihan, entah darimana ia berasal. Tidak banyak percakapan antara aku dan dia. Ia menitipkan ini untuk aku berikan kepada orang yang membutuhkannya. ia berpesan bahwa tidaklah pantas bagi Tuannya untuk menanggunya berlarut-larut.
Ia berterimakasih karena sudah mampu bertahan dan hadiah ini menjadi penggantinya setelah ia pergi. aku tidak paham sepenuhnya apa yang dia bicarakan, tetapi aku masih duduk dan menjadi pendengar yang baik. malam masih berlangsung dan suasanya menjadi begitu dingin menusuk sampai hati. luka kembali perih tp segera aku alihkan dengan menatap bintang yang berada tepat di atasku.
Dia menatapku sejenak lalu kembali melanjutkan ceritanya. Kau tau pertemuan keduaku dengan siapa? Tanyanya padaku sambil tersenyum.Aku hanya melemparkan tatapan kosong. Dengan luka, katanya. Aku menghabiskan banyak waktu untuk bercakap-cakap dengannya. Dia bercerita tentang banyak hal, dia bilang sudah tidak kuat tinggal di Tuannya. Dia ingin segera pergi, tuannya sudah semakin lemah, perih sudah tidak terasa dan membusuk bukan pilihan yang baik, katanya.
Dia menangis di pundakku sambil menitipkan ini. dia berpesan agar aku memberikan ini kepada tuannya jika aku bertemu dan memintaku menyampaikan bahwa dia meminta maaf karena tinggal terlalu lama. Sekarang ini akan menjadi penggantinya, katanya. Dia menghela nafas panjang lalu menatap ke langit sejenak.
Kami bahkan belum mengenal terlalu dalam, tetapi dia sudah banyak berbagi cerita. “ laki-laki aneh yang menarik” umpatku dalam hati. “ lalu siapa lagi yang kau temui Tuan?” aku mulai bertanya penasaran setelah terdiam cukup lama dan menjadi pendengar yang setia. Stttttt... mendekatlah!! Pintanya sambil mengulurkan tangannya padaku.
Kemudian tanpa berpikir panjang aku meraih tangannya lalu mendekat. “mari berdosa, iya!!” bisiknya ke telingaku dengan lembut lalu secepat kilat bibirnya langsung mendarat di keningku, kedua mataku, hidungku, kedua pipiku, lalu mendarat terakhir di bibirku. Aku terkejut, “ baiklah, jika ini memang sebuah dosa, maka mari berdosa saja malam ini Tuan” kataku dalam hati.
Aku tidak bisa bilang bahwa aku tidak menikmati. Dia menciumku dengan sangat lembut. Namun, Aku segera tersadar dan segera menghindar tetapi dia menahan tanganku dan menarikku semakin dekat. “Jangan dilepas, sebentar saja.” pintanya padaku kemudian kembali menciumku. Aku sudah hanyut dalam kenikmatan dosa ini. jika Tuhan harus menghukumku karena ini, aku sudah siap menanggunnya.
Jika aku masih punya hak untuk meminta, aku ingin meminta pada Tuhan agar malam ini jangan berakhir dulu.
Aku tidak tau sihir apa yang dimiliki olehnya, dinginnya malam yang menusuk sampai ke hati sudah berubah menjadi malam yang penuh kehangatan. Sepertinya malam ini benar-benar berpihak kepada kita. “lalu siapa yang kau temui berikutnya?” desakku agar dia melanjutkan ceritanya.
Aku bertemu dengan cinta, dia menangis tersedu-sedu. Aku sungguh heran apa yang membuatnya menangis kemudian ia menceritakanku bahwa Tuannya menginggalkannya. Dia memohon kepadaku agar aku membawanya kembali kepada Tuannya. Ia berharap tuannya masih memiliki ruang untuk ia tempati kembali. aku penasaran mengapa ia begitu ingin kembali meski tuannya meninggalkannya, sampai kemudian ia menunjukkan ini padaku.
Ia bilang bahwa ini adalah imbalan jika aku membawanya. Entah darimana datangnya air mataku kemudian menetes jatuh dipipiku. Tangan lembutnya dengan halus ia mengusap air mataku. Dia memintaku untuk menatap bintang paling terang diantara bintang-bintang yang bertebaran. Aku mencari, mencari, yang terakhir mataku jatuh tepat di matanya. Cukup lama mata kita bertemu, tdk ada kata yang terucap tetapi mata sudah menjelaskan segalanya.
Aku meminta agar dia menatapku lebih lama dan aku memaksa dia melihat lebih dalam melalui mataku. “Apa yang kau lihat, Tuan?” tanyaku. “aku melihat diriku di bola matamu, nona”. Aku mengeluarkan senyum termanis yang belum pernah ada dan aku memintanya untuk mengingatku baik-baik, aku meminta untuk dia merasakan sedalam mungkin.
Kekasihku berhenti melanjutkan ceritanya, suaranya terdengar parau. Aku melihat air matanya mengalir deras. Ini sangat menyedihkan mengingat aku sudah sekarat dan akan segera meninggalkan segalanya termasuk Tuan, kekasih hatiku. Aku sudah terbaring lemah cukup lama, aku menerima kutukan melalui penyakit kanker hati yang aku derita, iya.. aku menyebutnya sebagai kutukan. Aku tidak ingin pergi ke rumah sakit karena itu akan lebih menyakiti hatiku.
Setiap hari aku hanya menanggung derita yg semakin parah dari hari ke hari. Untuk mengisi waktu aku selalu meminta kekasihku untuk mengulang-ulang kisah pertemuanku dengannya. Dengan begitu, aku berharap bahkan ketika sudah sampai pada kematianku, aku tidak ingin melupakannya. Begitupun dia, aku selalu berharap bahwa dia tidak akan melupakanku.
Kisah ini bukan kisah yang terjadi dalam semalam. Kami sudah berbagi banyak hal dalam waktu yang lama. Dia memberiku segalanya, ketika dia bertemu dengan kesedihan yang menitipkan sesuatu kepadanya yang harus ia berikan kepada orang yang membutuhkan ialah “kebahagiaan” yang dia hadirkan untukku setiap waktu. Ketika dia bertemu dengan luka, ia belajar bahwa yang harus dia berikan kepadaku adalah “sandaran” ketika aku dalam keterpurukan. Kenyaman yang dihadirkannya untukku membuatku semakin berani meminta pada Tuhan untuk jangan mengambilnya sebelum aku.
Iya.... kenyaman tersebut kemudian menghadirkan benih cinta di antara kita. Cinta yang hadir tanpa mengharapkan apa-apa, cinta yang begitu tulus, siap menerima segala kekurangan dan kelebihan, cinta yang benar-benar hadir dari hati yang tulus dan ikhlas.
Sampai pada titik ini di tengah ketidakberdayaanku, dia masih memberiku cinta yang semakin besar dari hari ke hari.
Pada akhirnya, raga boleh saja tidak abadi tetapi cinta yang didasarkan oleh pondasi hati yang kuat akan membawa cinta menuju keabadian.
“Namaku adalah Bintang, orang tuaku memberi nama itu karena mereka sangat menyukai bintang. Mereka berharap aku akan menjadi bintang yang bersinar terang menghiasi malam-malam yang gelap. Ketika bintang tidak muncul, aku adalah bintang hidup yang akan menggantikan”. Aku dan kekasihku menutup cerita secara bersamaan.
Aku pegang erat-erat tangannya seolah-olah aku akan membawanya ikut bersamaku. “Wahai Tuan yang saat ini, nanti, dan bahkan dalam kematianku yang akan selalu aku rindukan, engkaulah titik temu pencarian dan penantianku. Lihat kembali mataku baik-baik, kau masih melihat dirimu di bola mataku?, seharus sudah pasti. Kaulah jawaban dari segala tannyaku, engkau adalah penawar dari sakitku. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian bahkan tidak sedikitpun.
Meski ragaku mungkin tidak utuh lagi, tetapi cintaku yang bersemayam di hatimu akan membuatku ada selamanya. Dengarkan aku baik-baik Tuan kekasihku, aku akan menantimu sampai nanti Tuhan akan menyatukan kita kembali. kisah kita belum usai, dengan kebaikan-Nya Tuhan akan menyiapkan waktu terindah untuk mempertemukan kita kembali. bahkan tidak ada waktu sedetikpun untuk tidak mencintaimu.
Tidak perlu risau jika kau rindu aku, ketika malam tiba lihatlah bintang-bintang yang bersinar terang, percayalah saat itu, aku juga sedang rindu. Jika bintang sedang tidak hadir, artinya aku sedang bersemayam di hatimu. tataplah aku sekali lagi, sayang!! Aku adalah bintang yg akan selalu terpancar di matamu. Lebih dekat!! Akan aku bisikkan sesuatu,"AKU MENCINTAIMU TUANKU”.
Aku tidak akan meminta dia untuk tidak bersedih karena kematianku namun, aku juga tetap berharap kenanganku dengannya akan membuatnya selalu bahagia. Segalanya akan berakhir sepertiku, bertemu untuk kemudian berpisah.
Jika sosok jasad sepertiku masih bisa meminta kepada Tuhan, aku akan meminta untuk tidak mengambilnya dalam waktu dekat. Aku ingin merindu dalam waktu yang lama, aku ingin mengingatnya terus menerus dan jika sudah tiba waktunya Tuhan membawanya padaku, tak akan pudar sedikitpun dia di mataku, tak akan luntur senyumku menyambutnya. Dialah Tuan kekasihku. Sampai bertemu Tuan.
Tentang Penulis : Margia Saspina, adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha-Singaraja. Beliau merupakan Anggota dan Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Singaraja.